A. Biografi Eliade
Mercea Eliade lahir di Bucharest
pada tanggal 9 Maret 1907, anak seorang pegawai dalam angkatan darat Rumania.
Saat anak-anak, Eliade suka dengan tempat-tempat yang sepi, sains, cerita dan
menulis. Autobiografinya melaporkan bagaimana, saat berusia 18 tahun, ia
bersama kawan-kawannya merayakan terbitnya artikelnya yang ke 100. Pada usia semuda ini, Eliade telah disewa
oleh sebuah surat kabar untuk menulis cerita khusus, kolom opini, dan tinjauan
buku.
Di universitas Bucharest dan di
Italia, ia mempelajari para pemikir Platonis mistik dari zaman Renaisans
Italian. Saat melakukan pekerjaan ini, ia menemukan pemikiran Hindu yang
menekankan kesatuan spiritual dengan jiwa tertinggi yang ada dibalik dunia. Dan
segera ia berangkat ke india untuk belajar pada sarjana dan orang bijak yang
terkenal, Surendranath Dasgupta. Datang di akhir tahun 1928, Eliade mendaftar
di Universitas Calcutta dan bekerja dengan Dasgupta di rumahnya. Dalam bidang
yang kurang spiritual, ia juga memulai suatu affair dengan putrid
penasihat itu. Suatu perpisahan yang tak menyenangkan dari gurunya pun terjadi,
dan ia pindah untuk berlatih yoga bersama dengan seorang guru di Himalaya.
Pada tahun 1931, tiga tahun
kemudian, eliade kembali ke Rumania untuk menyelenggarakan tugas militer.
Eliade terus menulis, dan pada tahun 1933, pada usia dua puluh enam tahun, ia
telah terkenal di negaranya dengan menerbitkan sebuah novel yang memenangkan
hadiah, berjudul Maitreyi (dalam bahasa inggris Bengal Night),
yang didasarkan pada percintaannya dengan putrid Dasgupta.
Selama tahun-tahun perang dunia II,
Eliade diperintahkan oleh pemerintah Rumania untuk menduduki jabatan diplomat
di Lisbon, Portugal. Saat peperangan berakhir, ia memilih tidak kembali ke
Rumania tetapi memilih tinggal di Paris, dimana ia diberi kesempatan untuk
mengajar di Ecole Des Hautes Etudes. Disini, Eliade menyelesaikan riset untuk
dua buku penting, yang memberi jalan pada sebagian besar dari pemikiran dan
studinya yang belakangan. Pattern in Comparative Religion (1949) yang
menggali peran symbol-simbol dalam agama, sementara The Myth of the Eternal
Return (1949) memiliki konsep sejarah dan waktu yang sacral maupun
perbedaan antara agama purba (archaic religion) dengan pemikiran modern.
Tahun 1950-an membawa perubahan
penting yang terakhir dalam karir ilmiyah Eliade. Setelah mengajar di
Universitas Chicago, Eliade menerima jabatan guru besar di University school,
pada tahun 1962 ia menjadi salah satu Distinguished Servise Profesor di
universitas tersebut.
Bermula di India dan berakhir di Chicago, meskipun karir dan kehidupan Eliade
dimana ia melihat banyak pertentangan bertemu: Timur dan Barat, tradisi dan
modernitas, mistisisme dan rasionalisme, kontemplasi dan kritisisme. Eliade
melanjutkan riset dan menulis saat telah pension hingga meninggal aktibat stroke
pada tanggal 22 April 1986.
B. Titik Awal Eliade
Sebelum mempertimbangkan teori Elliade secara
rinci, kita harus memperhatikan fondasinya. Dua ide secara khusus bertindak sebagai aksiomanya, (landasannya). Kedua
landasan tersebut adalah :
1. Yang telah tampak diatas, adalah sikapnya keras
pada reduksionisme. Elliade percaya pada independensi atau otonomi agama, yang
baginya tidak dapat dijelaskan hanya sekedar hasil dari suatu realitas yang
lain. Dalam bahasa-bahasa ilmu alam, mungkin dapat dikatakan hal ini dengan
cara lain bahwa agama tidak boleh ditafsirkan sebagai dengan “variable yang
dependen”, sesuatu yang selalu berubah menurut tes dan eksperimen. Bahkan, ia
harus dianggap sebagai veriabel yang konstan, atau independen, aspek-aspek
kehidupan yang lain social, ekonomi,, psikologi harus dipahami bergantung
padanya. Sebagai suatu unsure dalam perilaku manusia, agama berfungsi sebagai
sebab akibat.
2. Aksioma yang kedua berlaku terhadap metode.
Sebenarnya jika agama adalah sesuatu yang independen, sesuatu yang tidak dapat
dijelaskan semata-mata melalui sosiologi maupun psikologi, maka bagaimanakah
kita harus menjelaskannya?. Elliade menjawab bahwa kita harus menjelaskan atau
menghubungkan dua sudut fisi yang terpisah. Karena mahasiswa agama kebanyakan
mempelajari masa lalu, maka sedikit banyak subjek mereka adalah sejarah semata.
Dengan demikian, seperti para sejarawan yang lain, mereka mengumpulkan dan
menyusun fakta, membuat generalisasi mengkritisi dan mencoba untuk menemukan
sebab atau konsekuensi. Pada saat yang sama, studi agama tidak bias hanya
sejarah. Kita harus dapat memahami agama ketika kita juga menerapkan apa yang
disebut Eliade dengan “fenomenologi” yang berarti penampakan, suatu studi
perbandingan terhadap hal-hal dalam bentuk, atau penampilan yang hadir pada
kita. Dengan ukuran yang sama, satu cara kita mengetahui suatu bentuk
keagamaan, ritual atau kepercayaan adalah dengan membandingkannya dengan yang
lain. Maka, secara empatik Eliade mendukung kata-kata yang terkenal dari Goethe
tentnag bahasa, seperti yang diketahui, telah diadopsi oleh Muller untuk studi
agama: “ia yang hanya tahu satu (agama) sama dengan tidak tahu apa-apa”. Tanpa
perbandingan, taka aka nada suatu sains yang riil.
C. Konsep Eliade Tentang Agama
The Sacred and the Profane (1957) adalah sebuah karya pengantar singkat
yang menjelaskan bahwa dalam usaha memahami agama. Langkah pertama yang dibuat
mungkin adalah sesuatu yang paling penting. Eliade menjelaskan bahwa seorang
sejarawan harus keluar dari peradaban modern, namun hanya untuk encari
penjelasan tentang suatu kelompok kecil yang mutakhir dari makhluk manusia yang
masih hidup, dan memasuki dunia “ manusia purba”. Orang-orang purba adalah orang-orang
yang telah hidup pada masa prasejarah atau orang-orang pada masa sekarang yang
hidup dalam masyarakat suku dan kebudayaan rakyat pedalaman, tempat dimana ia
bekerja dalam dunia alam misalnya berburu, memancing, dan bertani. Apa yang
ditemukan pada orang-orang tersebut adalah sebuah kehidupan yang didasarkan
pada dua bidang yang jelas-jelas berbeda. Bidang yang sacral dan bidang yang
profan. Yang profane adalah wilayah urusan setiap hal-hal yang biasa, tak
disengaja, dan pada umumnya tidak penting. Yang sacral adalah sebaliknya, ia
adalah wilayah supernatural, hal-hal yang luar biasa, mengesankan dan penting.
Yang profane adalah arena urusan manusia, yang dapat berubah-ubah dan sering
kacau, sedangkan yang sacral adalah wilayah keteraturan dan kesempurnaan, rumah
para leluhur, pahlawan, dan dewa. Dimanapun kita memandang suku-suku purba,
agama dimulai dari pemisahan yang fundamental ini.
Ketika Eliade berbicara tentang sacral,
pemujaan klan ini jelas-jelas bukan yang ia pikirkan. Dalam pandangannya, perhatian
agama adalah dengan yang supernatural, yang jelas dan sederhana, ia berpusat
pada yang sacral di dalam dan ia sendiri, bukan tentang yang sacral hanya
sebagai cara untuk menggambarkan yang social. Meskipun Eliade menggunakan
Durkheim, namun pandangan Eliade tentang agama lebih dekat kepada Tylor dan
Frazer, yang menganggap agama pertama-tama dan terutama sebagai kepercayaan
pada wilayah dari wujud yang supernatural.
Dalam perjumpaan dengan yang sacral, kata Eliade, orang-orang merasa
bersentuhan dengan sesuatu yang bersifat diluar duniawi, mereka merasa bahwa
mereka telah bersentuhan dengan sebuah realitas yang tidak seperti realitas
lain yang pernah mereka kenal, sebuah dimensi eksistensi yang dahsyat dan
menggetarkan, sangat berbeda, betul-betul nyata dan langgeng
Orang yang berlatar belakang Yude-Kristen atau
muslim tentu menduga bahwa eliade menunjuk Tuhan personal yang tunggal. Tetapi
ide yang sacral ini jauh lebih luas. Bagaimanapun yang sacral dipahami, peran
agama adalah mempromosikan perjumpaan dengannya, untuk membawa seseorang
“keluar dari dari alam duniawi atau situasi historisnya dan memproyeksikan ke
suatu alam yang berbeda bersifat trensenden dan suci. Arti sacral bukanlah sesuatu
yang kadang-kadang, hanya ditemukan di kalangan orang-orang tertentu atau pada
waktu tertentu. Dalam masyarakat yang sekuler dari peradaban barat, orang-orang
menunjukkan yang sacral itu melalui mimpi, nostalgia dan karya-karya imajinasi.
Namun, betapapun samar, tertekan atau tersembunyi, intuisi tentang yang sacral
tetap merupakan suatu cirri pemikiran dan aktivitas manusia yang permanen. Tak
ada makhluk manusia tanpanya. Ketika mata terbuka untuk melihatnya, ia dapat
ilihat dimana-mana.
Dalam the sacred and the Profane, Eliade
mengemukakan beberapa contoh dari tingkat kebudayaan untuk menunjukkan betapa
seriusnya orang-orang tradisional semacam itu melaksanakan urusan dengan
mengikuti pola-pola yang ditetapkan oleh para dewa. Otoritas dari yang sacral
mengontrol semuanya. Ketika mereka membangun desa mereka misalnya, klan-klan
kuno tidak sekedar memilih tempat yang enak untuk dibangun. Sebuah desa
dibangun diatas sebuah tempat di mana telah ada suatu “hierofani” (berasal dari
kata yunani. Hieros dan phainen: penampakan yang sacral). Setelah
ditetapkan bahwa tempat ini benar-benar dikunjungi oleh yang sacral, mungkin
dalam bentuk seseorang dewa atau leluhur, maka lokasi ini siap menerima
pemberkatan ritual yang akan menetapkannya sebagai titik pusat sebuah dunia.
Disekitar tempat ini komunitas dapat dibangun dengan cara sedemikian rupa untuk
menunjukkan bahwa komunitas ini benar-benar memiliki suatu ilahi yang teratur
yakni sebuah system yang sacral. Dibanyak kebudayaan pusat sacral ini ditandai
dengan sebuah tiang, pilar atau suatu objek vertical lainnya yang menancap ke
tanah dan menghadap ke langit untuk menyatukan tiga wilayah alam yang besar
yaiyu langit, bumi dan alam bawah (neraka). Oleh karenanya, tempat ini yang
juga ditandai dengan sebatang pohon atau bahkan sebuah gunung, tidak hanya
dianggap sebagai pusat desa tetapi juga sebagai axis mundi (dalam bahasa
latin “post pusat’ dan “dunia”) ia adalah as roda, pilar tengah, tempat
berputarnya seluruh dunia. Disekitar tiang yang sacral atau di puncak gunung
yang sacral, selalu dibangun kuil-kuil besar.
Apalagi
setelah diakui semacam itu, semua objek simbolik memperoleh karakter ganda;
meskipun dalam beberapa hal objek-objek itu tetap selalu seperti adanya, namun
mereka juga menjadi sesuatu yang baru, sesuatu yang berada pada dirinya
sendiri. Di dalamm tempat suci yang disebut dengan Ka’bah, kaum Memuja sebuah
batu hitam. Meskipun hingga hari ini, dalam satu tingkatan, objek itu tetap
merupakan sebuah batu, tak ada pengikut Muhammad yang setia akan memandangnya
demikian. Dari saat hierofani—dari saat ketika kaum muslim melihat sebagai
sesuatu yang disentuh oleh yang sakral – objek yang profan ini telah
ditransformasikan; ia tidak lagi sekadar batu tetapi suatu objek yang sakral,
dapat dikatakan sebuah paket yang mengesankan, yang di dalamnya memuat yang sakral.
Eliade menyebut pemasukan yang supernatural ke objek-objek yang natural
ini dengan “dialektika yang sakral”. Meskipun bentuknya konkret dan
terbatas, bahkan mungkin dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang
lain, sebuah batu yang sakral dapat – melalui soliditas dan sifatnya yang lain
– membawa kepada mata seorang beriman ciri-ciri dari yang sakral, yang
betul-betul berlawanan dengan keterbatasannya: ia dapat mengesankan, seperti
batu suci dari Ka’bah bagi kaum Muslim, Dzat Tuhan yang tak dapat digerakkan
dan di luar perubahan, Sang Pencipta dunia yang bersifat mahakuasa, tak
terbatas, dan absolut. Tentu, menurut logika yang umum, suatu kombinasi dari
hal-hal yang berlawanan semacam itu mengejutkan kita sebagai sesuatu yang
irasional. Jika yang profan betul-betul bertentangan dengan yang sakral,
bagaimanakah ia dapat menjadi lawannya yang sebenarnya ? Bagaimanakah yang natural
juga dapat menjadi yang supernatural ? Ia dapat demikian, karena
dalam hal-hal yang semacam itu, akal manusia tidak dalam tugas transaksi.
Simbol dan mitos memberi daya tarik pada imajinasi, yang sering hidup di atas
ide kontradiksi. Kedua memikat orang sepenuhnya, emosi, kehendak, dan bahkan
aspek kepribadian yang bersifat bawah sadar.
Menarik
untuk diperhatikan, bahwa seperti Max Muler, Eliade menemukan penyedia utama
untuk materi simbolisme dan mitos di
dunia alam. Bagi pikiran purba, dunia yang fisik adalah benar-benar sebuah
rumah gudang yang berisikan gambaran, petunjuk, tanda, dan analogi yang
prospektif. Semua yang kita lihat di dunia adalah bagian dari kerangka besar
yang diciptakan oleh para dewa di permulaan zaman, dan dimanapun di dalamnya,
yang sakral menanti untuk bersinar. Di
dalam segala keindahan dan kegarangannya, kompleksitas, misteri, dan
variasinya, dunia natural terus-menerus membuka jendela untuk
menyingkapkan berbagai aspek yang supernatural – apa yang disebut oleh
Eliade dengan “modalitas dari yang sakral”. Ngomong-ngomong, ini adalah apa
yang membuat kebudayaan tradisional begitu kaya dengan tokoh-tokoh dan simbol
imajinatif dan dunia mereka begitu hidup dengan folklore dan legenda, dengan catatan kejadian,
cerita-cerita banjir, dan kisah epik tentang
para pahlawan, monster, dan para dewa.
SIMBOLISME
LANGIT : DEWA-DEWA LANGIT DAN YANG LAIN
Salah
satu unsur yang paling umum dari kebudayaan-kebudayaan purba adalah kepercayaan
pada pada dewa-dewa langit, dewa-dewa yang karakternya ditandai dengan sifat
langit yang luas di atas bumi. Langit membawa arti tentang transendensi, sebuah
bentangan yang diangkat tinggi di atas kita, sesuatu yang tak terbatas,
berkuasa dan abadi – penuh dengan otoritas dan realitas. Dengan demikian, dewa
langit sering dibayangkan tepat dalam mode ini. Seperti dewa Lho di kalangan
suku Maoris, dewa langit “ditinggikan” ; seperti dewa Olorum di kalangan
suku-suku Yoruba di Afrika, dewa langit adalah
“pemilik langit” ; seperti dewa besar Ahura Mazda dari Iran awal, dewa
langit adalah pemberi suatu hukum dan penegak aturan moral di dunia.
Mitos-mitos dari Australia menceritakan tentang penarikan dari dewa langit,
sementara di dalam masyarakat primitif yang lain, dewa langit juga tampak
begitu jauh dari jangkauan manusia sehingga konsepsi keagamaan yang lain harus
muncul untuk menggantikannya.
Tidaklah
sulit untuk diduga mengapa perubahan dari dewa langit ke dewa badai yang
semacam itu terjadi. Eliade menjelaskan bahwa permohonan hujan dan kesuburan
erat terkait dengan satu dari peristiwa-peristiwa paling penting dalam semua
peradaban awal – penemuan pertanian, membajak tanah, menanam biji, dan memanen
– semua ini menimbulkan suatu pola kehidupan yang baru, dan dengan itu
muncullah kesempatan untuk hierofani yang baru.
Eliade
melihat suatu aspek psikologis yang penting dari simbol-simbol keagamaan.
Simbol-simbol itu tidak hanya mengatakan pada kita tentang dunia ddan tentang
yang sakral, tetapi juga menunjukkan “kontoinuitas antara struktur keberadaan
manuisa dengan struktur kosmis”. Mitos-mitos mereka tidak hanya mencerminkan
lingkaran kematian dan kehidupan di alam; mereka juga melakukan kembali
perjuangan personal yang hebat, yang terjadi dalam kehidupan setiap individu
manusia; drama kelahiran, kehidupan dan kematian, maupun harapan kelahiran
kembali ataupun redemsi. Eliade berkata, tak ada simbol yang berhasil membawa
kehidupan ilahi (kedewaan) yang begitu dekat dengan manusia sebagaimana tokoh
dewa penyelamat, dewa (tuhan) yang bahkan “ikut mengalami penderitaan umat
manusia, mati, dan bangkit dari kematian untuk menyelamatkan mereka.”
Benar-benar karena “kemanusiannya yang mencolok”, maka tipe tuhan (dewa)
seperti ini memainkan peran penting dalam sejarah agama.
MATAHARI DAN
BULAN
Eliade
menunjukkan bahwa pemujaan matahari, yang oleh beberapa teoretisi sebelumnya
(terutama Max Muller) dianggap sebagai pusat semua mitologi, sebenarnya adalah
sangat jarang. Yang jauh lebih terkenal dan luas adalah mitos dan simbol yang
berhubungan dengan bulan yang terus berubah.
Simbolisme
bulan juga menunjukkan sebuah kekuatan ekspansi yang luar biasa; simbolisme itu
terus-menerus keluar untuk mencari hubungan yang baru. Di samping air dan
tanaman, bulan sering dihubungkan dengan kematian, fase kehidupan yang
terakhir; dengan ular, yang meregenerasi dirinya dengan mengelupasnya kulitnya;
dan dengan wanita yang kekuatannya untuk memperbarui hidup dengan melahirkan
muncul dari fase-fase perputaran menstruasi “bulanan”. Sebenarnya, “intuisi
bulan sebagai ukuran irama, sebagai sumber energi, sumber kehidupan dan
kelahiran kembali,telah menjalin semacam jaringan di antara berbagai tingkatan
alam, menghasilkan perbandingan, persamaan, dan kesatuan di antara berbagai
jenis fenomena yang luas.
AIR DAN BATU
Di
samping simbol-simbol besar seperti dewa langit dan dewa bulan, dunia
orang-orang purba juga kaya dengan gambaran dan tanda-tanda yang lebih kecil,
yang sering berkaitan dengan hal-hal yang lebih doinan. Misalnya, dimana-mana
air mengekspresikan ketiadaan bentuk, sifat makhluk-makhluk yang tidak
berbentuk sebelum mereka disuruh
ke dunia oleh para dewa. Ia mengawali proses pembaruan. Tak ada dunia ataupun
manusia itu sendiri yang dapat dilahirkan kembali hingga masing-masing terlebih
dahulu kembali ke kekacauan dengan terjun ke perairan yang dalam, dan kemudian
muncul sebagai suatu ciptaan yang baru. Di dalam inisiasi ritual dan dalam
sebagian besar ritus penyucian, membawa kita kembali pada keadaan yang tak
berbentuk, keadaan awal, “papan tulis yang bersih”, di mana suatu permulaan
yang baru dapat dilakukan.
Sebaliknya,
simbolisme dari batu mengesankan kebalikannya. Tidak seperti air, substansi
batu adalah keras, kasar dan tak berubah. Bagi seorang primitif, “batu
menunjukkan sesuatu yang mentransendensi kesulitan kemanusiaannya; suatu cara
perwujudan yang absolut. Kekuatan, ketakbergerakannya, ukurannya
mengindikasikan kehadiran sesuatu yang mempesonakan, menakutkan, memikat dan
mengancam, semua itu secara bersamaan”. Jika kita meletakkan kata-kata ini dalam
bahasa Latin, fascinans dan tremendum,
maka di sini kita sebenarnya telah mengerti kata-kata Otto tentang yang
sakral. Sebuah batu biasanya hampir tidak akan menarik perhatian kita; namun,
sebuah batu yang sakral akan menimbulkan kekaguman dan ketakutan.
SIMBOL-SIMBOL
LAIN :
BUMI DAN
KESUBURAN, TANAMAN DAN PERTANIAN
Simbolisme
tentang kehidupan, pertumbuhan, dan kesuburan telah memainkan peran besar dalam
agama orang-orang purba, sebelum dan setelah munculnya pertanian. Dari
banyaknya pola-pola yang dipertimbangkan secara luas oleh Eliade di dalam kategori ini, kita hanya dapat
memperhatikan sedikit.
Suatu
gambaran yang sangat awal adalah gambaran
bumi sebagai ibu yang sakral, sumber semua makhluk hidup. Perkawinan
yang sakral antara dewwa dengan bapak langit dan dewi ibu bumi dapat ditemukan
di banyak mitologi, dari Pasifik Selatan hingga ke Afrika, Mediterania, dan
Amerika. Langit menyuburkan bumi dengan hujan, dan bumi menghasilkan
biji-bijian dan rumput. Dengan datangnya pertanian dan manusia lebih dekat
terlibat dalam pengolahan tanaman dan biji-bijian, simbol sebelumnya tentang
bumi sebagai ibu sering ditumpangi sengan simbol tentang dewi besar – sekali
lagi, seorang dewi yang lebih dinamis dan emosional, yang seperti dewa-dewa
“anak” yang disinggung di atas, secara pribadi ia hidup sampai datangnya panen
di dalam perputaran kehidupan sendiri, dari lahir, berhubungan seksual,
mengandung, dan mati.
Namun,
yang lebih luas dari ibu atau dewi bumi adalah simbolisme dari pohon.
Pohon-pohon yang sakral dapat ditemukan “dalam sejarah setiap agama, di dalam
tradisi awal di seluruh dunia, di dalam metafisika dan mistisisme primitif,
belum termasuk ekonografi dan seni awam”. Seperti pohon kosmis Yagdrasil di
dalam mitologi Norse, beberapa di antaranya menggabungkan simbolisme axis
mundi, titik pusat dunia, dengan tema yang ke dua, pohon sebagai sumber
kehidupan yang sakral. Sebagaimana objek-objek vertikal yang besar adalah juga
hidup, maka, pohon-pohon semacam itu menggambarkan “kehidupan seluruh dunia
yang secara terus-menerus memperbarui dirinya”. Lebih lanjut, karena
pohon-pohon itu hidup lama, kehidupan yang ada di dalamnya dianggap tak ada
putus-putusnya; pohon-pohon itu menjadi sebuah fokus harapan manusia akan
keabadian. Kita harus ingat bahwa Frazer menemukan jiwa, sumber kehidupan,
sangat terkait dengan pemujaan pohon dan tanaman misletoe di Eropa
sebelah utara. Dan di dalam berbagai mitos kuno tentang sebuah pohon kehidupan,
kita mengetahui tentang seorang pahlawan yang harus melewati suatu ujian, seperti
yang dihadapi Adam dan Hawa dan gagal dalam ujian Tuhan untuk tidak memakan
buah pohon larangan di Taman Eden.
Dengan mengalahkan seekor naga atau menahan godaan, seorang manusia besar
mendapatkan hadiah keabadian. Pohon-pohon itu mengatakan kepada kita bahwa yang
sakral adalah sumber semua kehidupan, suatu realitas yang sebenarnya, dan bagi
mereka yang dapat melewati ujian, merupakan pemberi keabadian.
Yang
sakral bukan hanya dapat bertahan lama seperti sebuah batu; ia juga diisi
dengan jiwa (kehidupan), seperti sebatang tanaman. Ia adalah kekuatan yang
terus-menerus memperbarui benda, bukan dalam hal fisik saja, seperti makanan
memperbarui tubuh, tetapi juga secara spiritual. Ajaran simbolisme tanaman yang
yang bersifat manusiawi dan personal adalah sebuah janji tentang kehidupan yang
abadi. Dari hal ini, catat Eliade, kita dapat juga melihat arti aktivitas
ritual yang memiliki hubungan dengan yang sakral. Ritual inisiasi, penyucian,
dan penyelamatan adalah aktivitas yang melalui isyarat dan prosedurnya,
menciptakan kembali asal-usul besar semua pembaruan – penciptaan dunia itu
sendiri, ketika ia muncul dari kekacauan dan diberikan bentuknya melalui
perintah yang kuasa atau seperjuangan yang sangat hebat dari para dewa.
STRUKTUR DAN
KARAKTER SIMBOL
Dari
fertilitas (kesuburan) dan tanaman, Eliade kemudian beralih ke simbolisme
tentang ruang dan waktu. Hal yang pertama ini telah kita sebut di atas, dan
yang ke dua akan mampir di tempat kita secara singkat. Maka, di sini kita dapat
melintasi mereka untuk mengamati sesuatu yang lain. Meskipun sebagian besar
pembahsan di dalam Pattrens dipenuhi dengan simbol-simbol dan mitos dari
seluruh dunia, Eliade meluangkan waktu lama untuk membahas dua ciri besar dari
semua cara berpikir simbolik. Yang pertama adalah karakter sebagian besar
simbolisme dan mitologi yang bersifat struktural atau seperti sistem; yang ke
dua adalah masalah pengolahan simbol – meninggikan suatu simbol di atas simbol
yang lain.
Di
sepanjang pembahasannya, Eliade menjelaskan bahwa simbol dan mitos jarang
terisolasi. Sifat merekalah untuk selalu menjadi bagian dari sistem simbol yang
lebih besar; mereka “berhubungan” dengan gambaran, mitos yang lain, untuk
membentuk sebuah susunan. Maka, alam pemikiran orang-orang purba dipenuhi
dengan asosiasi, hubungan, dan pengulangan yang terus-menerus meluaskan arti
dari yang sakral, jika mungkin, hampir setiap dimensi kehidupan – dari
peristiwa dan upacara yang mulia hingga ke tugas keseharian yang sederhana.
Sepasang contoh mungkin dapat menjelaskan proses ini. Dalam suatu penampakan
yang pertama dari yang sakral – suatu hierofani yang awal – seorang yang
religius menemukan, misalnya, sebuah visi tentang Tuhan Tunggal yang sejati di
dalam matahari, seperti yang dirasakan oleh Pharoah (Fir’aun) Akhenaton. (Kita
ingat, bahwa Freud menganggap Akhenaton adalah seorang jenius religius yang
menginspirasi monoteisme Yahudi). Maka, piringan matahari yang bundar segera
dinyatakan sebagai simbol Tuhan. Pikiran itu diukir di dinding, dihiasi
permata, dan mewajibkan panji-panji pada upacara-upacara istana.
Isyarat-isyarat ini tentu saja menambah
kesempatan untuk memikirkan tentang
matahari; isyarat-isyarat itu “mensakralkan” tempat, orang, dan peristiwa di
luar peristiwa atau tempat perjumpaan suci yang utama. Pada waktunya, masih
banyak hubungan yang bisa dibuat, matahari dipersonifikasikan, dan kisah-kisah
tentang matahari dan petualangannya diekspresikan dalam mitos.
Di
samping memperhatikan karakternya yang sistematis, isu umum ke dua yang
disinggung Eliade adalah membandingkan simbol dan mitos. Apakah beberapa simbol
memiliki karakter yang lebih baik dibandingkan yang lain ? dapatkah kita
menggolongkan mitos menurut skala ini ? dan jika demikian, apa standar yang
akan kita gunakan ? di dalam Patterns, Eliade tidak secara langsung
membahs pertanyaan-pertanyaan ini seperti yang diinginkan orang, tetapi
jelaslah bahwa sebenarnya ia merasakan beberapa gambaran dan mitos lebih tinggi
dibandingkan yang lain. Standar utama yang ia terapkan tampaknya adalah skala
atau ukurannya. “semakin besar” simbol, semakin lengkap dan universal, semakin
banyak ia membawa sifat sejati dari yang sakral.
Konsep
tentang penggantian dan “revalorisasi” simbol ini memainkan peran penting dalam
teori Eliade. Konsep itu menunjukkan bahwa Eliade tidak hanya tertarik untuk
meneliti bentuk-bentuk agama yang abadi, tetapi juga perubahan sejarahnya.
Dalam pandangannya, umat manusia di sepanjang waktu terus-menerus bekerja untuk
menyatakan kembali persepsi mereka tentang yang sakral melalui cara-cara yang
awal, menciptakan mitos-mitos yang baru,
menemukan simbol-simbol yang segar, dan menyusunnya kembali ke sistem yang
berbeda atau lebih luas. Dengan demikian, misi “sejarah” agama-agama
pertama-tama adalah untuk menemukan simbol, mitos, ritual, dan sistemnya,
kemudian menellusurinya melalui masa lalu manusia ketika hal-hal itu diubah dan
dipertukarkan dari satu masa atau tempat ke yang lain. Setelah itu – dan
sama-sama penting – segi yang fenomenologis masuk. Seorang sejarawan mencoba
untuk membandingkan dan melawankan mater-materi ini untuk menentukan tingkat
dan tipe artinya sebagai pembawa yang sakral. Dan ia mengamati bagaimana di
berbagai zaman dan tempat, simbol,
mitos, dan ritual terus menerus berubah. Dalam sejarah, mereka terus-menerus
diciptakan, direvisi dibuang, dan diciptakan kembali. Jika Eliade adalah
seorang pemikir yang evolusioner, kita mungkin akan menemukan Eliade mengklaim
bahwa semua perubahan ini adalah perbaikan, bahwa setiap mitos atau simbol yang
baru semakin lebih baik dibandingkan yang lalu.
SEJARAH DAN
WAKTU SUCI
Dari
semua ini haruslah jelas bahwa bagi sarjana yang meneliti tentang simbolisme
yang sakral, catatan sejarah manusia adalah sangat penting. Catatan sejarah itu
menunjukkan bagaimana berbagai orang telah mengenal yang sakral melalui,
misalnya, sebuah gunung suci di Cina atau sungai suci seperti Gangga di India.
Namun, orang-orang purba yang beriman itu sendiri menemukan lingkungan mereka
di dalam sejarah betul-betul merupakan sejarah yang lain. Bagi mereka,
peristiwa kehidupan profan yang biasa, perputaran kerja dan perjuangan
sehari-hari adalah hal-hal yang mati-matian ingin mereka hindari. Mereka lebih
baik keluar dari sejarah dan masuk dalam wilayah sempurna dari yang sakral.
Istilah Eliade untuk keinginan ini, seperti yang telah kita sebut sebelumnya, adalah
“nostalgia akan surga”. Ini adalah konsep yang sentral bagi teorinya. Meskipun
Eliade menyebut konsep itu di banyak tempat, namun ia menjelaskannya dengan
sangat baik dalam naskah ke tiga dari tiga naskah yang telah kita anggap
sebagai petunjuk. yakni, The Myth of the Eternal Return: Or, Cosmos, and
History, yang ia terbitkan pertama kali bersamaan dengan Patterns di
tahun 1949.
Eliade
menganggap buku ini sebagai salah satu buku yang paling penting, bahkan para
pengkritiknya juga cenderung setuju. Di dalamnya, Eliade mengemukakan suatu
tesis yang sangat kuat: bahwa tema yang mendominasi pemikiran semua orang purba
adalah dorongan untuk menghapus sejarah – semua sejarah – dan kembali ke tempat
di luar waktu ketika dunia dimulai. Keinginan untuk kembali ke permulaan, tegas
Eliade, adalah kerinduan yang terdalam, keinginan yang paling mendesak dan
sepenuh hati di dalam jiwa semua orang-orang purba. Semua tema yang konstan
dari ritual dan mitos purba adalah keinginan “untuk hidup di dunia seperti saat
dunia itu datang dari tangan pencipta, bersih, murni, dan kuat”.
Eliade
menganggap penting untuk memperhatikan motif-motif yang menginspirasi mitos
tentang kembali ini. Ia menjelaskan bahwa orang-orang purba, seperti semua yang
lain, sangat terpengaruh tidak hanya oleh misteri penderitaan dan kematian
tetapi juga perhatian tentang kehidupan tanpa tujuan atau arti.
“Teori
sejarah” ini tidak hanya dirasakan oleh orang-orang purba, tetapi juga oleh
peradaban-peradaban besar di alam kuno, di mana pandangan mengenai perputaran
waktu adalah utama. Di India misalnya, ajaran yang paling kuno beranggapan
bahwa makhluk manusia ditakdirkan untuk hidup tanpa harapan akan suatu dunia
yang melewati perputaran yang luas sekali dari kerusakan dan kemunduran hingga
ia akhirnya dihancurkan dan kembali diciptakan lagi. Reaksi terhadap pandangan
yang pesimistik ini akhirnya muncul dalam bentuk versi kembali secara
terus-menerus dari alam Timur Klasik – doktrin tentang kelahiran kembali atau
reinkarnasi.
REVOLUSI
MELAWAN AGAMA PURBA :YUDAISME DAN KRISTEN
Maka,
hampir di setiap kebudayaan kuno yang beradab, masalah sejarah adalah sentral,
dan solusinya, pelepasan telah ditemukan dalam bentuk mitos tentang kembali
secara terus-menerus. Pola itu begitu menyebar, kata Eliade, sehingga hanya ada
satu tempat – di kalangan orang-orang yahudi dari Palestina kuno – muncul
sesuat yang berbeda. Adalah di dalam Israel kuno, untuk pertama kalinya di atas
kancah dunia, suatu pandangan agama baru muncul. Meskipun tidak seluruhnya
menolak ide tentang kembali ke permulaan secaramistis, Yudaisme menyatakan
bahwa yang sakral dapat ditemukan di dalam sejarah maupun di luarnya. Dengan ini, seluruh
persamaan agama purba berubah secara signifikan. Di dalam Yudaisme, dan
kemudian di dalam agama kristen, yang berasal darinya, ide tentang perputaran
alam yang tak berarti didorong ke belakang, sedangkan peristiwa manusia muncul
di panggung tengah, di mana meretka dapat mengambil bentuk sejalan dengan garis
sebuah cerita yang bermakna—sebuah sejarah – dengan yang sakral, di dalam
bentuk tuhan dari Israel, seorang partisipan dari kancah sejarah. Di dalam
menempatkan perputaran dunia yang tak berakhir dan tak berarti, Yudaisme
menyatakan serangkaian peristiwa sejarah suci yang berarti. Inovasi yang
mencolok ini terutama dibentuk oleh para nabi besar Israel – Amos, Isaiah,
Jeremiah, dan yang lain.
Ketika
bencana menimpa umat mereka, mereka menggambarkan kesulitan ini bukan sebagai
penderitaan yang harus dihindari, tetapi sebagai hukuman yang harus ditahan – di
dalam sejarah – karena bencana itu datang dari tangan Tuhan. Di dalam sabda
dan khotbah mereka, kata Eliade, para nabi itu menegaskan ide :
Bahwa
peristiwa sejarah memiliki nilai di dalam dirinya, sejauh ia ditentukan oleh
kehendak tuhan. Tuhan dari umat Yahudi ini tidak lagi merupakan seorang Tuhan
Timur, pencipta sikap-sikap purba, tetapi seorang pribadi yang terus menerus
menginvertensi di dalam sejarah, yang menyatakan kehendaknya melalui
peristiwa-peristiwa (invasi, pengepungan, pertempuran, dan lain-lain). Maka,
fakta-fakta sejarah merupakan “situasi” manusia dalam menghormati Tuhan, dan
dengan demikian mereka memperoleh nilai religius yang sebelumnya belum pernah
dianugerahkan kepada mereka.
Bahwa
perjumapaan suatu umat dengan Tuhan yang personal ini di dalam sejarah adalah
sesuatu yang betul-betul baru yang dapat dilihat dari kisah tentang Patriakh
Ibrahim yang terkenal di dalam Bibel,
yang bersiap-siap untuk membunuh anaknya sebagai persembahan kepada Tuhan. Jika
Yudaisme adalah sebuah sebuah agama purba, kata Eliade, maka tindakan yang
mengagumkan ini akan menjadi contoh pengorbanan manusia, sebuah pembunuhan yang
pertama kali lahir untuk memperbarui kekuatan hidup yang sakral di dalam diri
para dewa. Namun, di dalam Yudaisme, peristiwa itu memiliki karakter yang
betul-betul berbeda. Perjumpaan Ibrahim adalah sebuah transaksi yang sangat
personal di dalam sejarah di mana Tuhan meminta anaknya sekadar sebagai tanda
keimanannya. Tuhan ini tidak memerlukan korban untuk memperbarui kekuatan
ilahinya (dan sesungguhnya ia menyelamatkan Ishaq, sang anak), tetapi apa yang
ia tuntut dari umatnya adalah sebuah kesetiaan sepenuh hati yang cukup untuk
melakukan pengorbanan puncak semacam itu jika diminta. Agama kristen mewarisi
perspektif ini. Serangkaian peristiwa yang berupa kehidupan dan kematian Yesus
merupakan contoh historis yang tunggal, suatu saat menentukan sesuatu yang
telah terjadi, bertindak sebagai landasan bagi hubungan personal tentang
kepemaafan dan kepercayaan antara kaum beriman kristen dengan Tuhan mereka.
Tentu,
agama historis yang baru ini tidak segera mendapatkan kemenangan atas sikap
purba yang lebih tua, yang berakar kuat di dalam psikologi manusia. Daya tarik
luar biasa (tremendous) yang diberikan oleh agama-agama keseburuan
seperti pemujaan pada Baal dari umat awam di dalam Israel kuno adalah bukti
tentang hal di dalam kasus Yudaisme. Juga di dalam kebudayaan kristen, upacara
musiman tentang kelahiran kembali betul-betul hidup dan bercampur dengan unsur
yang lebih murni sejarah. Kelompok-kelompok yang bernafsu ini mengharapkan
kembalinya pilihan Tuhan, suatu bencana di akhir dunia, dan munculnya suatu
dunia yang sempurna, kembali menampakkan tanda-tanda pikiran purba; mereka
mentolerir sejarah, tetapi hanya karena mereka percaya “bahwa, di suatu hari ia
akan berakhir”. Akibatnya, sisi dari tradisi Yudeo-Kristen berkembang di
tengah-tengah suatu ketegangan dan kompromi yang kuat. Mereka telah menemukan
yang sakral baik dalam sejarah maupun di luarnya.
Pemberontakan
Melawan Semua Agama; Historisisme Modern
Bagi Eliade, perpindahan Yudeo-Kristen ke agama
sejarah adalah sebuah peristiwa yang memiliki arti sangat penting. Perpindahan
itu menandai permulaan suatu perubahan dari sikap purba, sebuah revolusi
pertama melawan mitos tentang kembali secara terus menerus. Namun ini
bukanlah satu-satunya transformasi keagamaan yang besar didunia. Revolusi yang
kedua, yaitu yang memiliki proporsi sama atau bahkan lebih besar,
kemudian akhir-akhir ini dimulai dengan mengambil bentuk tepat ditengah-tengah
peradaban Barat, terutama Eropa Modern dan Amerika. Selama beberapa abad yang
lalu kita telah melihat sesuatu yang betul-betul baru didalam sejarah manusia
yaitu penerimaan secara luas terhadap filsafat yang mengingkari keberadaan dan
nilai yang sakral.
Perhatian Eliade yang pertama adalah
untuk menunjukkan dari mana hal itu berasal. Ia menduga bahwa pintu menuju
revolusi yang kedua ini sebenarnya dibuka oleh perubahan ide-ide yang juga
menciptakan revolusi yang pertama yaitu datangnya agama sejarah
Yudeo-Kristen. Pada pandangan pertama, hal ini tampak membingungkan, tetapi
bagi Eliade konsekuensinya adalah jelas. Hal itu menjadi perhatian saat kita
menempatkan segala sesuatu didalam konteks awal agama purba dan mitos tentang
kembali secara terus menerus. Kita harus ingat kata Eliade bahwa bagi
orang-orang purba yang pertama dunia alam adalah sangat penting. Disetiap saat
ia dapat hidup dengan yang sakral. Simbolime membungkusnya didalam
supernatural, legenda dan mitos menyanyikan tentang dewa-dewa dibalik badai dan
hujan. Petunjuk dan isyarat tentang yang sakral dapat ditemukan dalam sebuah
pohon, batu atau arah burung terbang.
Melalui perjalanan abad yang panjang
dan terutama didalam peradaban barat, pembuangan yang ilahi dari alam secara
perlahan-lahan telah membuka jalan bagi seluruh masyarakat untuk mengambil gaya
pemikiran yang hanya dipertimbangkan secara serius oleh beberapa individu yang
diisolasi hingga datangnya era modern. Gaya itu adalah sekularitas yaitu
pembuangan semua referensi pada yang sakral dari pemikiran dan tindakan
manusia. Lalu mengapa kita tidak dapat membuang yang sakral dari urusan
manusia? Pada dasarnya ini adalah penalaran yang berjalan hamper disemua
filsafat non religious yang sekular,
yang muncul di dunia dengan daya tarik yang sangat besar pada zaman modern
sejak tiga abad yang lalu. Eliade menggambarkan syahadat-syahadat sekular ini
sebagai bentuk “historisisme”, suatu tipe pemikiran yang hanya mengakui hal-hal
yang biasa dan profane sementara mengingkari setiap referensi pada hal-hal yang
sakral dan supernatural.
Contoh-contoh dari cara berpikir
historis ini dapat ditemukan dalam sejumlah sistem dan pemikir modern, diantara
mereka telah kita temui didalam bab-bab terdahulu. Eliade menyebut
developmentalisme dari filsuf Jerman, Hergel, komunisme dari Karl Marx dan
perspektif dari fasisisme dan eksistensialisme abad ke-20 M. Kapitalisme modern
mungkin juga bisa dimasukkan. Apa yang dianut oleh setiap sistem ini adalah
kepercayaan fundamental bahwa jika umat manusia menginginkan arti dan
signifikansi didalam kehidupan mereka, maka harus menciptakan seluruhnya
menurut keinginan mereka sendiri didalam wilayah sejarah yang profan dan tanpa
bantuan dari wilayah yang sakral. Kaum Fasis dan Marxis percaya bahwa meski
tanpa para dewa yang sakral, sejarah tetap “menuju pada suatu tempat”. Ia akan
berakhir pada kemenangan suatu bangsa atau ras, atau didalam kemenangan kaum
ploretarian. Sedangkan kaum eksistensialis cenderung menganggap bahwa sejarah
secara keseluruhan tidak memiliki tujuan sentral, ia “tidak pergi kemana-mana”
sehingga hanya merupakan masalah kehidupan pribadi dan pilihan individual.
Kembali
ke Agama Purba
Gambaran dan cerita didalam kebudayaan awam
menyerupai mitos-mitos purba, menciptakan tipe dasar karakter dimana orang-orang
biasa menyesuaikan kehidupan mereka; “pahlawan politik atau militer, pecinta
yang tak beruntung; atau seorang yang sinis, nihilis, penyair yang melankonis.”
Bagi kita hal-hal seperti ini memainkan peran serupa dengan yang diisi oleh
para pahlawan dan dewa-dewa dalam mitos bagi orang-orang purba.
Kebiasaan orang-orang agama purba sangat jauh
dari versi modernnya, Eliade mengamati bahwa meski didalam bentuknya yang awal,
nostalgia purba akan surge tidak pernah sepenuhnya hilang. Agama Kristen, seperti
yang kita lihat, commited untuk menemukan yang sakral hanya dalam sejarah.
Namun, dikalangan para petani Kristen di Rumania dan negeri-negeri Eropa Tengah
lainnya, orang dapat menemukan campuran yang luar biasa dimana kebiasaan
berpikir purba betul-betul menghapus sisa-sisa sejarah didalam syahadat gereja.
Bagi para penganut agama Kristen yang kosmis, keimanan yang purba ini
memberikan arti sangat dalam yang tidak pernah dapat diberikan oleh perspektif
sejarah yang diwarisi dari Yudaisme.
Analisis
Mirce
Eliade mengikuti suatu program penelitian yang sangat berbeda dari strategi reduksionis
yang telah kita amati, dan hal itu memungkinkannya untuk membentuk suatu teori
agama yang sangat bertentangan dengan mereka.
1. Kritik terhadap Reduksionisme
Sejak
awal, Eliade telah meyatakan ketidakcocokannya dengan pendekatan reduksionis
yang disukai pada masanya dan masih menarik pada zaman kita. Bertentangan
dengan Freud, Durkheim dan Marx, Eliade dengan tegas menyatakan independensi
ide dan aktifitas agama. Ia mengakui bahwa psikologi masyarakat, ekonomi dan
kekuatan yang lain telah memberi pengaruh pada agama, tetapi ia menolak untuk
melihat pengaruh mereka bersifat menentukan atau bahkan dominan. Agama dapat
dipahami hanya jika kita mencoba untuk melihatnya dari sudut pandang orang
beriman. Seperti hukum Romawi,
nilai-nilai romawi, atau arsitektur Mesir yang harus kita lihat melalui
mata, perilaku, ide dan institusi agama harus dilihat dari segi perspektif
agama, segi yang sakral dan yang menginspirasinya. Terutama dalam kasus orang
purba, jelaslah bahwa bukan kehidupan profane-sosial, ekonomi yang mengontrol
sakral atau sebaliknya, yang sakrallah yang mengontrol dan membentuk setiap
aspek dari yang profan.
2. Komparativisme Global
Ciri
utama teori Eliade yang lain adalah desainnya yang ambisius dan luas. Tentu ia
bukan satu-satunya teoretisi yang mencoba untuk mengumpulkan data dari berbagai
sumber, tempat dan waktu, tetapi ia lebih ambisius didalam hal ini dibandingkan
sebagian besar yang lain. Ia secara serius melakukan misi gandanya, baik
sebagai sejarawan yang baik maupun sebagai fenomenolog yang baik, dan secara
tulus ia berusaha secara komprehensif memahami agama dalam segala bentuknya.
Riset yang berada dibalik analisisnya betul-betul luar biasa dalam tingkatannya.
Tiga naskah utama yang telah kita lihat jelas disini hanya menggambarkan
sebagian dari usahanya, yang tidak hanya mencakup beberapa buku nya tentang
yoga Indra, tetapi juga studi tentang agama-agama Australia, tradisi-tradisi
rakyat Eropa, para Saman Asia, ataupun para mistikus nabi.
3. Perhatian terhadap Filsafat Kontemporer
Eliade
tidak memandang dirinya sebagai sarjana yang tidak memihak, semata-mata
tertarik pada adat kebiasaan suku yang kabur di zaman yang jauh. Meskipun
kehidupan profesionalnya dipenuhi dengan ilmu pengetahuan, naskah-naskah kuno dan
ide-ide purba, namun ia memandang dirinya seperti orang yang sangat banyak
terlibat dengan ide-ide dan kebudayaan pada masanya, seorang teoretisi yang
mengambil pengetahuannya tentang masa lalu untuk membicarakan isu-isu enting
filsafat yang dihadapi msayarakat pada masa sekarang.
Teori
Eliade tentang agama sangat dikagumi di beberapa tempat, tetapi juga banyak
yang memperdebatkan ditempat lain. Ini hampir tidak mengejutkan dikarenakan
oleh sikap berani yang ia kemukakan terhadap pendekatan reduksionis dan wilayah
perhatiannya yang luas. Sebagaimana yang tampak dari pembahasan yang kita
simpulkan, Eliade tidak takut untuk memecahkan persoalan besar dan berpihak
pada masalah controversial yang menjadi perhatian mutakhir, meskipun kedua
kebijakan ini menempatkan para sarjana lain bersikap skeptis tepat sejak awal.
Tentang tuduhan yang dilemparkan para pengumpat Eliade adalah bermanfaat untuk
membuat perbedaan antara keluhan yang kecil dengan keluhan yang lebih serius.
Misalnya, telah dikatakan bahwa bukti dari agama Cina dan Islam tak muncul
dalam tulisan Eliade, meskipun ia mengklaim sebagai seorang “pembanding yang
global”. Yang lain menyatakan bahwa contoh-contoh yang mungkin akan menyangkal
klaimnya tidak pernah dapat ditemukan didalam bukunya, bahwa ia tidak secara
hati-hati mengevaluasi teks dan para sarjana yang ia percayai dan bahwa ia
menerapkan konsep modern untuk orang-orang kuno. Yang lain lagi menyatakan
bahwa pandangan Eliade adalah bercirikan evolusionisme sosial Victorian dan
bahwa metodenya sebagian besar bersifat intuitif dan spekulatif dari pada
ilmiah. Sehingga, Eliade bukanlah seorang pemikir evolusioner yang kuno, ia
mengakui fakta perubahan sejarah, tetapi baginya perubahan sama sekali tidak
sama dengan kemajuan evolusioner yang tak dapat diubah. Ada beberapa masalah
lain yang lebih penting dari pemikiran Eliade, diantaranya:
1. Teologi
Sejumlah pengamat telah mengklaim bahwa kunci
masalah Eliade adalah sesuatu yang bersifat religious. Tersembunyi didalam
teorinya terdapat beberapa asumsi awal baik religious maupun filosofis yang
merusak keobjektifannya dan tidak bersifat ilmiah. Dalam tahun-tahun terakhir
ini, beberapa kritikus yang terang-terangan telah mengklaim bahwa Eliade
betul-betul seorang teolog Kristen atau bahkan misionaris yang samar. Ia
percaya pada Tuhan dan menguraikan semua agama dari segi yang menguntungkan,
maka ia dapat menunjukkan agama Kristen yang paling baik dan benar. Salah
seorang pengamat yang objektif dan berhati-hati menulis tetang isu tersebut,
menegaskan bahwa teori Eliade sebagian bergantung pada apa yang ia sebut dengan
sudut pandang keagamaan yang “normatif”, tetapi pendirian ini lebih dekat pada
pandangan agama-agam Timur yang anti sejarah, seperti Hinduisme dibandingkan
dengan agama Kristen. Yang lain menegaskan bahwa kepercayaan Eliade sebenarnya
adalah agama kosmik dari orang-orang purba yang begitu banyak ia hargai, dan
karena ini ia gagal berlaku adil terhadap perspektif sejarah yang nonpurba dan
terhadap perspektif modern yang nonreligius ketika ia mengemukakan keraguan
pada nilai perspektif-perspektif ini.
2. Metode Sejarah
Sekelompok pengkritik yang lain menyatakan
bahwa persoalannya tidak mungkin pada teologi, tetapi sejarah. Seperti yang
kita sebut diatas, Eliade merasa bahwa ia telah berhasil melakukan studi agama
baik secara fenomenologis maupun historis. Dalam menyusun generalisasinya,
Eliade mengambil contoh dari tempat, ruang dan waktu yang sangat jauh,
diisahkan dari keadaanya, diambil persamaan-persamaan yang tampak dan atas
dasar itu disimpulkan bahwa semua itu membentuk sebuah pola yang penting.
Sehingga ia memandang apakah ia bergerak ke India Zaman Weda beberapa ribu
tahun yang lalu, ke para petani Eropa di abad Pertengahan atau kesuku-suku
primitif yang masih hidup pada masa sekarang. Didalam semua agama ia menemukan kategori-kategori
pemikiran yang sama dan bentuk mitis yang sama, semua itu mengekpresikan inti
ide yang sama yaitu realitas yang sakral, suatu kepercayaan pada tipe dasarnya,
pelarian dari sejarah, dan simbolisme tentang kembali.
3. Kekacauan Konseptual
Disamping masalah-masalah diatas, konsep yang
digunakan Eliade menyusahkan ketika kita ingin dia bersikap sangat jelas, namun
pembahasan Eliade dapat muncul agak mengecewakan, samar dan sulit dipahami.
Tentang masalah simbolisme, untuk sekedar memebri contoh, antropolog Edmund
Leach telah menunjukkan adanya suatu kekacauan yang berarti. Eliade mengatakan
kepada kita bahwa mitos sering menghadirkan perbedaan antara yang sakral dengan
yang profan yang kemudian dengan memeperkenalkan hal ketiga yang menghubungkan
mereka yaitu; sebuah perahu, sebuah jembatan atau tangga besar atau “pohon
besar”. Bagi Eliade yang penting dari ketiganya bukanlah symbol, tetapi
strukturnya, hubungan yang dibuat antara yang sakral dengan yang profane. Dalam
beberapa hal dapat dikemukakan menyangkut konsep tentang yang sakral itu
sendiri. Dimanapun kita mencoba untuk mengatakan sekadar apa itu yang sakral
bagi orang-orang purba, namun tugas itu terbukti sangat sulit. Eliade berkata
bahwa yang sakral itu dapat disimbolkan oleh gambaran tentang suatu pusat yang
sulit untuk dijangkau , tetapi juga oleh suatu pusat yang mudah dijangkau. Ia
berkata bahwa batu menggambarkan yang sakral karena batu itu keras, kasar dan
tak berubah, namun bulan dengan fase-fasenya yang berganti-ganti, perputaran kelahiran,
kematian dan kemunculannya kembali juga dikatakan yang sakral karena “yang riil
bukan hanya apa yang tentu saja, tetapi juga apa yang menjadi didalam bentuk
organis tetapi siklis (berputar-putar).
Meskipun banyak masalah, Eliade tentu pantas dikagumi
karena merupakan salah seorang dari sedikit pemikir pada masanya yang secara
berani menyatakan independensi perilaku agama berhadapan dengan berbagai bentuk
reduksionisme fungsionalis. Ia juga dapat dipuji setidaknya karena mencoba
sebuah pendekatan yang mengambil datanya dari hampir setiap agama di dunia dan
mencoba untuk menjelaskan semua bukti didalam kerangka sebuah sistem
komprehensif yang tunggal. Dari teori Eliade yang “global” ini, dapat
dipelajari bukan hanya dari pola-pola umum tetapi dengan mengerjakan yang
sebaliknya dengan memusatkan pada agama dari suatu tempat atau umat dan secar
sungguh-sungguh menjelaskan dengan rinci dan mendalam.
DAFTAR
PUSTAKA
Olson, Theologhy and Philosophy of Eliade,