UNIVERSITAS AL-AZHAR DI CAIRO MESIR
A.
Sejarah
Berdirinya Universitas Al-Azhar
Dalam sejarah
dunia keilmuan, Al-Azhar dikenal sebagai universitas tertua, tidak hanya di
dunia Islam, namun juga di seluruh dunia.
Setelah pembangunan kota Kairo rampung lengkap dengan istananya, Al-Siqili
mendirikan masjid Al-Azhar, pada tanggal 17 Ramadhan 359 Hijriyah (970 Masehi).
Sebelumnya
masjid ini bernama al-Qahiroh, sama dengan nama kota (Kairo) yang dibangun oleh
Jauhar al-Sikilli. Penamaan ini dikaitkan dengan istilah al-qahirah al-zahirah,
al-zahirah artinya cemerlang. Namun, yang dikehendaki oleh al-Sikilli adalah
nisbat yang lebih dekat dengan istilah al-zahra, gelar ini nama Sayyidah
Fatimah al-Zahra, putri Rasulullah SAW. Sesuai dengan penisbatan itu,
ditetapkanlah nama al-Azhar sebagai nama masjid tersebut.Masjid ini berkembang menjadi sebuah universitas besar yang sampai
sekarang masih berdiri megah. Nama Al-Ahzar di ambil dari Al-Zahra, julukan
Fatimah, putri Nabi Muhammad SAW dan istri Ali Ibn Abi Thalib.
Masjid Al-Azhar
selesai dibangun pada tahun 361 Hijriyah (972M), merupakan masjid pertama di
kairo dan masjid keempat di mesir, setelah masjid Amr Ibn Ash, masjid Askar,
dan masjid Ahmad Ibn Thulun.
Pada awalnya Al-Azhar bukanlah sebuah perguruan tinggi atau sebagai lembaga
pendidikan formal, melainkan hanya sebagai masjid yang oleh khalifah Dinasti
Fathimiyah dijadikan sebagai pusat untuk menyebarkan dakwah mereka namun
kemudian berkembang menjadi universitas. Al-Azhar dan
kota Kairo merupakan bukti fonumental sebagai produk peradaban islam di Mesir
yang tetap eksis sampai saat ini
B.
Pendidikan Universitas Al-Azhar
Al-Azhar tidak hanya dikenal sebagai universitas Islam tertua di dunia,
tetapi Al-Azhar juga sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan mesir selama
1.000 tahun.
Al-Azhar telah melahirkan pemimpin-pemimpin besar, filusuf-filusuf,
sarjana-sarjana, tokoh-tokoh politik dan orang-orang terkenal. Pada abad ke-9
Hijriyah merupakan masa kejayaan bagi Al-Azhar karena pada saat itu Al-Azhar
menempati tempat tertinggi di antara madrasah-madrasah dan perguruan tinggi
yang ada di kairo. Ketika itu, Al-Azhar sebagai induk madrasah juga sebagai
perguruan tinggi terbesar yang tidak ada tandingannya.
Al-Azhar Dalam Kekuasaan Khalifah
1)
Masa Dinasti Fatimiyyah
Al-Azhar pada masa dinasti
Fatimiyyah dijadikan sebagai alat propaganda kekuasaan khalifah dan sebagai alat
penyebaran doktrin faham Syi’ah. Pada masa ini pula sistem pengajaran terbagi
menjadi empat kelas.
Pertama, kelas umum diperuntukkan bagi
orang yang datang ke al-Azhar untuk mempelajari al-Qur’an dan penafsirannya. Kedua,
kelas para mahasiswa universitas al-Azhar kuliah dengan para dosen yang
ditandai dengan mengajukan pertanyaan dan mengkaji jawabannya. Ketiga,
kelas Darul hikam, kuliah formal ini diberikan oleh para mubalig seminggu
sekali pada hari senin yang dibuka untuk umum dan pada hari kamis dibuka khusus
untuk mahasiswa pilihan. Keempat, kelas nonformal, yaitu kelas untuk
pelajar wanita.
Mahasiswa yang belajar di al-Azhar dilarang
mempelajari mazhab selain Syi’ah. Sedemikian ketatnya, sampai ada mahasiswa
yang dipenjara karena menyimpan kitab Al-Muwattho’ karya monumental Imam Malik.
Pada masa khalifah Al-Aziz Billah,
378 H dengan usaha wazirnya Yakub ibn Kills, yang menyelenggarakan kuliah umum
di al-Azhar yang diikuti oleh peminat yang sangat banyak. Kegiatan inilah yang
dianggap sebagai awal lahirnya sistem pedidikan tinggi di al-Azhar.
Karena hal inilah al-Azhar dijadikan sebagai Universitas Islam yang mengajarkan
ilmu-ilmu agama, ilmu logika, dan ilmu umum lainnya. Untuk menunjang kegiatan
pendidikan dan pengajaran, al-Azhar dilengkapi dengan asrama untuk para fuqaha
(dosen, tenaga pendidik) serta semua urusan dan kebutuhannya ditanggung oleh
khalifah. Adapun ilmu agama yang diajarkan meliputi: ilmu tafsir, qiraat,
hadits, fiqih, nahwu, sharaf, dan sastra. Sedangkan ilmu-ilmu umum yang
dipelajari ialah: filsafat, ilmu falak, ilmu ukur, musik kedokteran, kimia, dan
sejarah , serta ilmu bumi.Diantara
para ulama yang turut belajar pada masa itu antara lain: Hasan ibn Ibrahim atau
yang lebih dikenal Ibnu Zulaq, al-Amir al-Mukhtar ‘Izzul Mulk Muhammad bin
Abdullah, Abu Abdillah al-Qudha’i, Abi Ali Muhammad bin al-Hasanbin al-Haitsam.
2)
Masa Dinasti Ayyubi
Setelah Sholahuddin Al-Ayyubi
menguasai Mesir dan menjatuhkan dinasti Fatimiyyah, kegiatan keilmuan di
al-Azhar harus terhenti. Karena Sholahuddin al-Ayyubi adalah penganut faham
Sunni, ia menutup al-Azhar baik untuk shalat jumat maupun sebagai universitas.
Al-Azhar tidak lagi menjadi penyelenggara pendidikan islam yang membanggakan.
Kendati al-Azhar ditutup sebagai
lembaga pendidikan, perkuliahan beralih ke madrasah-madrasah dan lembaga kuliah
setingkat universitas, yang jumlahnya hinga mencapai 25 lembaga di Kairo.
al-Azhar juga sering mendapat kunjungan ulama-ulama terkenal yang juga
memberikan kuliah. Pada tahun 589 H Abd Latif al_baghdadi berkunjung ke Mesir,
pada masa al-Malik al-Aziz Imad al-Din Utsman anak Sholah al-Din. Pada
kunjungannya ini ia sempat mengajar mantiq dan al-Bayyan di al-Azhar.
Setelah Daulah Fatimiyah jatuh ke
tangan Shalahuddin al- ayyubi pada tahun 567 H (1171 M), maka ia mengambil
kebijakan baru untuk menghilangkan aliran Syi’ah yangtelah tumbuh dan
berkembang sekian lama. Terutama melalui sarana al-Azhar untuk digantinya
dengan aliran Sunni. Beberapa peristiwa penting yang terjadi pada masa
Sholahuddin adalah:
a.
Pembekuan kegiatan khutbah di al-Azhar selama hampir seratus
tahun sampai masa Sultan al-Mamluki al-Dzahir pada tahun 665 H/1226 M.
b.
Melakukan renovasi pembangunan al-Azhar oleh Amir Edmir dan
Sultan Berbes atau Sultan al-Dzohir Berbes.
c.
Al-Azhar menjadi pusat studi islam yang amat penting, terutama
ketika Kairo menjadi kiblat para ulama, fuqaha, dan mahasiswa.
3)
Masa Dinasti Mamalik
Pada masa ini terjadi serbuan
besar-besaran dari bangsa Mongol ke timur dan jatuhnya islam di barat, sehingga
banyak para ulama dan ilmuan yang mencari perlindungan ke al-Azhar. Hal ini
menyebabkan posisi al-Azhar menjadi penting. Sejak saat itu banyak pelajar dan
negara-negara islam yang tertarik menjadi mahasiswa dan belajar di al-Azhar.
Terhitung 98 tahun sejak al-Azhar
ditutup, sejak masa Sholahuddin al-Ayyubi sampai 17 tahun dari pemerintahan
dinasti Mamalik. Pada tahun 665 H seorang amir yang tinggal tidak jauh dari
al-Azhar mengajukan usul kepada Sultan al-Zahir Baibars untuk membuka al-Azhar
kembali sebagai tempat untuk shalat jumat.usulan itupun diterima dan sejak saat
itu ia dan amir mengeluarkan uang sendiri untuk memperbaiki al-Azhar. Semenjak
saat itu pula al-Azhar sering dikunjungi oleh ulama-ulama terkenal dari
berbagai daerah untuk belajar dan mengajar, seperti Ibn Khaldun, Abu al-‘Abbas
Ahmad al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M) dan Jalal al-Din al-Suyuthi (w.911
H/1505 M).
Sejak dibuka kembali sebagai tempat
shalat jumat dan tempat kegiatan keilmuan, al-Azhar yang dulunya beraliran
faham Syi’ah sekarang berubah menjadi Faham Sunni.
Pada masa ini, kebijakan dan
perhatian pemerintah terhadap al-Azhar sangat kondusif untuk pengembangan
al-Azhar sebagai sebuah perguruan tinggi. Diantaranya adalah al-Azhar banyak
mendapat wakaf dari para sultan dan umara yang tujuannya adalah untuk membantu
dan memelihara kemasyhuran ilmu pengetahuan di al-Azhar dan untuk kelanjutan
al-Azhar sebagai pusat pergerakan ilmu pengetahuan di Mesir dan dunia islam.
Harta wakaf al-Azhar sampai saat ini masih digunakan untuk membayar gaji para
dosen dan karyawannya, baik untuk warga Mesur sendiri maupun warga negara
asing, juga digunakan untuk membiayai pembangunan asrama pelajar dan mahasiswa.
Pada masa dinasti Mamalik, sistem
pembelajaran di al-Azhar adalah para mahasiswa diberi kebebasan dalam memilih
mata kuliah yang dipelajarinya, sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasai oleh
masing-masing dosen. Setelah mahasiswa
dapat menguasai disiplin ilmu yang diberikan oleh seorang dosen, maka ia
dipersilahkan untuk memilih dosen yang lain untuk mempelajari mata kuliah yang
berbeda. Setelah mahasiswa yang sudah meyelesaikan kuliahnya kepada seorang
dosen, maka ia akan diberi Syahadah (ijazah).
Ketika Mesir hilang kedaulatannya
tahun 922 H/1517 M, pendidikan dan pengajaran mengalami kemunduran di al-Azhar
khususnya dan madrasah-madrasah lainnya. Pada masa itu ilmu yang diajarkan
hanya bahasa arab dan ilmu-ilmu agama saja, sedangkan ilmu aqliyah, seperti
filsafat, ilmu bumi, ilmu pasti tidak ada dan dianggap haram hukumnya. Kendati
demikian bukan berarti tidak ada seorangpun yang belajar dan mengajarkan ilmu
aqliyah, tetapi dengan kemauan sendiri, seperti Syaikh Abdul Mun’im Damanhuri
(w. 1192 H/1778 M) dalam ijazahnya disebutkan ilmu yang telah dipelajarinya
meliputi al-Jabar, ilmu falak, ilmu kesehatan dan lain-lain.
C.
Sistem
dan Metode Pendidikan Al-Azhar
Pada mulanya
pengajaran di Universitas al-Azhar sama dengan institusi pen-didikan yang lain,
yaitu sistem halaqah (melingkar). Seorang pelajar bebas memilih guru dan
pindah sesuai dengan kemauannya. Umumnya guru atau syaikh yang mengajar itu
duduk bersama para pelajar, tetapi guru kadang-kadang duduk di kursi ketika
menerangkan kitab yang diajarkannya. Di samping itu, metode diskusi sangat
dikembangkan sebagai metode dalam proses pembelajaran antarpelajar. Seorang
gu-ru hanya berperan sebagai fasilitator dan memberikan penajaman dari materi
yang didiskusikan
Al-Azhar
merupakan univertas Islam tertua di Dunia, yang sampai saat ini masih
menggunakan sistem kalsik Al-Azhar menerapkan sistem pendidikan dengan
jenjang empat tahun. Yang mana dalam setiap pertemuannya tidak menggunakan
sistem absen. Dimana hal tersebut memiliki filosofi yang luar biasa yaitu
bahwasanya seorang mahasiswa itu harus lebih mengutamakan ilmu yang
didapatkannya, bukan sekedar datang absen saja tanpa ilmu yang didapat. Dalam
menyelesaikan administrasi pun Al-Azhar masih menggunakan sistem manual, dimana
hal tersebut dapat melatih kesabaran mahasiswa.
Al-Azhar pun terkenal dengan sistem sanad
(riwayat), di mana seorang mahasiswa mengambil sebuah ilmu langsung dari
gurunya dengan bertatap muka dan tentunya para murid pun diuji seberapa jauh ia
menguasi ilmu tersebut. Sistem
ini ternyata sudah ada semenjak Rasulullah SAW dan dipraktikkan oleh para
Sahabat dan ulama sesudahnya. Sistem sanad ini pulalah yang menjadikan kelimuan
Islam tetap terjaga dari masa ke masa.Selain
dibangku kuliah, para mahasiswa Al-Azhar juga banyak menimba ilmu melalui
halaqah-halaqah yang diadakan di masjid Al-Azhar.
Al-Azhar
megajarkan mahasiswanya untuk bersifat sederhana, hal ini dpat dilihat dari
ruang kuliahnya yang masih menggunakan meja dan bangku panjang yang diduduki
5-7 orang. Saat perkuliahan pun mahasiswa bebas bertanya apapun kepada dosen
bahkan sampai keluar ruanganpun mereka masih dizinkan untuk bertama, hingga
mereka paham betul dengan ilmu yang didapatnya
Al-Azhar menggunakan sistem paket, jadi nilai
mata kuliah yang diujikan ketika semester ganjil dan genap disatukan. Bagi
mereka yang membawa lebih dari dua mata kuliah, akan mengulang selama setahun
di kelas yang sama dengan mata kuliah yang ia bawa. Sedangkan mereka yang
membawa satu atau dua mata kuliah, ia tetap naik kelas dan hanya diuji ulang
mata pelajaran tersebut tanpa mengulang satu tahun di kelas yang sama.
Di sinilah terlihat ketatnya sistem ujian dan
penialan di al-Azhar. Hal ini tidak lain karena al-Azhar ingin mengajarkan kepada
para mahasiwanya sebuah kesungguhan dalam belajar dan mencari ilmu.
D.
Tujuan
Universitas Al-Azhar
Adapun tujuan Universitas al-Azhar adalah:
1.
Mengemukakan
kebenaran dan pengaruh turas Islam terhadap kemajuan umat manusia dan
jaminannya terhadap kebahagiaannya di dunia dan akhirat;
2.
Memberikan
perhatian penuh terhadap ke-bangkitan turas ilmu, pemikiran, dan
keruhanian bangsa Arab Islam;
3.
Menyuplai
dunia Islam dengan ulama-ulama aktif yang beriman, percaya terhadap diri
sendiri, mempunyai keteguhan mental dan ilmu yang mendalam tentang akidah,
syariah, dan bahasa al-Quran;
4.
Mencetak
ilmuwan agama yang aktif dalam semua bentuk ke-giatan, karya, kepemimpinan dan
menjadi contoh yang baik, serta mencetak ilmuwan dari berbagai ilmu pengetahuan
yang sanggup aktif dalam dakwah Islam yang di-pimpin dengan hikmat
kebijaksanaan dan pelajaran yang baik di luar dan di dalam Republik Arab Mesir;
5.
Meningkatkan
hubungan kebudayaan dan ilmiah dengan universitas dan lembaga ilmiah Islam di
luar negeri.
E.
Peranan
Al-Azhar dalam mencetak Ulama
Al-azhar sebagai lembaga pendidikan saat
ini telah banyak melahirkan ulama yang tidak diragukan lagi dari aspek
keilmuannya, dan telah banyak menyumbangkan khasanah ilmu pengetahuan terutama
keIslaman, baik dari Mesir maupun Ulama yang berasal dari daerah lainnya.
Diantara mereka ialah Izauddin bin Abdissalam, Imam Subkhi Jallaludin As-
Suyuti, Al Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqolani, dan karya monumental dari para ulama
tersebut masih dapat dipelajari dan disaksikan sampai sekarang ini.