PERNIKAHAN DINI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Latar belakang masalah
Suatu hal yang dianggap sakral dalam hidup ini adalah pernikahan.
Pernikahan merupakan suatu jalan yang dipilih Allah SWT sebagai suatu jalan bagi
manusia untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya. Pernikahan sebagai
jalan yang bisa ditempuh oleh manusia untuk memebentuk suatu keluarga atau
rumah tangga bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan pada
umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang profesi, suku
bangsa, kaya atau miskin dan sebagainya.
Dengan memandang aspek kematangan emosi yang sangat penting dalam
menjaga kelangsungan pernikahan.
Tidak jarang masih sering kita jumpai di sebuah daerah
terlebih daerah pedesaan, banyak bahkan merupakan sebuah tradisi bagi warga
khususnya para orang tua yang menikahkan anaknya pada usia yang terbilang
dibawah umur.
Tidak ada yang salah ataupun aneh jika orang
tua menikahkan anaknya pada usia dibawah umur. Namun seiring perkembangan zaman
dan juga sangat pesatnya perkembangan ilmu teknologi, pernikahan dibawah umur
yang pada akhir-akhir ini sering muncul dengan istilah pernikahan dini menjadi
sebuah perbincangan publik. Bahkan menuai pro-kontra tentang hal itu. Sehingga
muncul banyak pertanyaan-pertannyaan mengenai pernikahan dini dan bagaimana
perspektif Islam dalam menjawab tentang pernikahan dini tersebut.
2. Pengertian dan batasan usia
Pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seseorang
laki-laki dan seorang perempuan serta menetapkan hak-hak dan kewajiban diantara
keduanya.
Dalam hukum perkawinan,
ketentuan batas usia minimal untuk melangsungkan pernikahan hanya terdapat pada pasal 15 ayat (1) menyebutkan “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga
, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur berdasarkan ketetapan pasal 7 undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur
19 tahun dan calonisterisekurang-kurangnya berumur
16 tahun”.
Pendapat ahli Fiqh misalnya Ibnu syub rumah,
Abu Bakar Al-AshamdanUtsman al-batti, menurut ketiga ulama ini laki-laki atau perempuan
yang di bawah umur tidak sah dinikahkan.
3. Hukum
a. Dalil
Pada dasarnya Islam tidak memberikan batasan usia pernikahan, baik batasan
minimal maupun maksimal. Justru, dalil-dalil menunjukkan bolehnya pernikahan
pada usia dini.
Para ulama’ klasik dari empat madzab fiqh mendukung pendapat yang
membolehkan pernikahan dibawah umur. Para ulama’ ini tidak membedakan antara
anak yang belum bisa membedakan (ghayr mumayiz) atau yang sudah bisa
membedakan (mumayyiz). Argumentasi mereka adalah ayat Al-Qur’an surat
at-Thalaq : 4 dan perbuatan Nabi SAW. Saat mengawini Aisyah r.a yang ketika
dikawini Nabi SAW. Baru berumur enam tahun.
Atthalaq ayat 4.
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ
ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ, وَأُولاتُ الأحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ
أَمْرِهِ يُسْرًا (٤)
"Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ = perempuan
yang belum haid diberikan masa ‘iddah selama 3 bulan (Tsalasatu ashur). ‘Iddah
itu sendiri terjadi karena kasus perceraian baik karena talak maupun ditinggal
mati oleh suaminya.Jadi ‘iddah ada karena pernikahan. Dilalatul
iltizam-nya (indikasi logisnya) dari ayat ini adalah wanita yang belum
haid boleh menikah.Sehingga para ulama tidak memberi batasan maksimal maupun
minimal untuk menikah.
selain itu Firman Allah SWT:
وَإِنْخِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَاطَابَلَكُمْ مِنَالنِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبعَ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلاتَعْدِلُوافَوَاحِدَةً أَوْمَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ, ذَلِكَ
أَدْنَى
أَلاتَعُولُوْا
Dan jika kamu takut tidak
akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’ : 3)
وَابْتَلُواالْيَتَامَى حَتَّى إِذَابَلَغُواالنِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُواإِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلاتَأْكُلُوهَاإِسْرَافًاوَبِدَارًاأَنْيَكْبَرُوا , وَمَنْكَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ, وَمَنْ كَانَ
فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ, فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُواعَلَيْهِمْ, وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا..
Artinya:
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan
harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara
itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)
dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang
patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah
kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah
Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (QS. Al-Nisa’ :6)
Ummul
Mukminin Aisyah ra dalam menafsirkan ayat ini ketika ditanyakan oleh
keponakannya Urwah bin Zubair berkata; “Wahai anak saudariku, perempuan
(yang dimaksud ayat itu) adalah anak perempuan yatim yang tinggal dalam rumah
walinya (laki-laki), yang hartanya digabung dengan harta walinya, walinya pun
tertarik pada harta dan kecantikan gadis itu. Diapun
ingin menikahinya tanpa bersikap adil dalam pemberian (mahar dan nafkahnya).
Pemberian Laki-laki itu padanya sama dengan yang lain. Maka terlarang bagi wali
itu untuk menikahi perempuan yatim kecuali mampu bersikap adil pada mereka
dengan memberikan melebihkan pemberian pada mereka” (HR
Muttafaq ‘alaih)
Perkataan
Aisyah ra : “Diapun ingin menikahinya….….Maka terlarang bagi wali itu
untuk menikahi perempuan yatim kecuali mampu bersikap adil pada mereka….” menunjukkan bolehnya
(masyru’iyah) pernikahan pada usia dini bagi gadis yang belum baligh. Karena
pengertian yatim itu diberkan bagi yang belum baligh.
Abu Muhammad Abdul Haq bin Ghalib al Muharibi dalam al
Muharror al Wajiz mendefinisikan al-Yatim pada
manusia adalah anak kecil (as-Shobiy) yang tidak memiliki bapak. Adapun pada
binatang, al-yatim adalah jika tidak memiliki ibu. Sifat yatim dilekatkan
pada usia belum baligh. Sebagaimana sabda Nabi SAW: « لايتمبعدحلم »artinya
“tidak disebut yatim bila telah bermimpi (tanda baligh)”.
وَأَنْكِحُواالأيَامَىمِنْكُمْوَالصَّالِحِينَمِنْعِبَادِكُمْوَإِمَائِكُمْ
Dan kawinkanlah
orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
(QS. An-Nur: 32)
Wajh al-dilalahnya, Pengertian “الأيَامَى” dalam ayat ini adalah perempuan yang tidak memiliki
suami. Menggunakan sighat umum, mencakup dewasa maupun anak-anak.
Hadits Nabi SAW:
Dalam Shahih Muslim Juz
II halaman 1039
عن عائــشة رضي الله عنها قــالت : " تــزوجني النبي صلى الله عليه وسلم
وأنــا ابنـة (ســــت سنين) وبني بي وأنا ابنة تسع" (متفق عليه)
Dari Aisyah ra ia
berkata: “Saya dinikahi Nabi SAW pada saat umur enam tahun, dan saya digauli
pada usia sembilan tahun”. (Mutafaq Alaih).
Kaidah ushul
Masalah penentuan umur dalam UU Perkawinan maupun
dalam kompilasi memang bersifat ijtihadiyah, sebagai pembaharuan pemikiran fiqh
yang lalu.Namun demikian, apabila dilacak referensi Syar’inya mempunyai landasan
yang kuat.Misalnyaisyarat Allah dalamsurat an-nisa’ 4:9
وَلْيَخْشَالَّذِينَلَوْتَرَكُوامِنْخَلْفِهِمْذُرِّيَّةًضِعَافًاخَافُواعَلَيْهِمْفَلْيَتَّقُوااللَّهَوَلْيَقُولُواقَوْلاسَدِيدًا
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka .Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Ayat tersebut memang bersifat umum, yang dilakukan oleh pasangan usia muda,
dibawah ketentuan yang diatur UU No. 1 Tahun 1994 akan menghasilkan keturunan
yang dikhawatirkan kesejahteraannya. Akan tetapi berdasarkan pengamatan berbagai
pihak rendahnya usia kawin, lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan
dengan misi dan tujuan perkawinan, yaitu terwujudnya ketentraman dalam berumah tangga
berdasarkan kasih sayang.
Secara metodologis, langkah penentuan usia kawin
didasarkan kepada metode maslahah mursalah. Namun demikian karena sifatnya yang
ijtihady, yang kebenarannya relative, ketentuan tersebut tidak bersifat kaku. Artinya,
apabila karena sesuatu dan lain hal perkawinan dari mereka yang usianya di
bawah 21 tahun, atau sekurang-kurangnya 19 tahun untuk pria dan wanita undang-undang
tetap memberi jalan keluar.
Adapun
mengenai kasus perrnikahan Rasulullah SAW dengan Siti Aisyah yang saat itu
berusia 6 tahun, menurut Syubrumah, hal itu merupakan pengecualian atau suatu
kekhususan bagi Nabi Muhammad sendiri yang tidak bisa diberlakukan bagi
ummatnya.demikian juga Rasullah tidak serta merta menggauli Aisyah, menunggu
sampai ia dewasa.
Dalam
menentukan usia minimal nikah, ternyata sangat merugikan kaum perempuan. Hal
ini bisa dibuktikan dengan beberapa indikasi. Pertama, kesempatan
sekolah dan masa untuk mengembangkan diri bagi anak perempuan menjadi terpotong
dan lebih singkat dibanding laki-laki. Padahal pada dasarnya perkembangan
intelektualitas, ilmu pengetahuan, bakat, ketrampilan laki-laki dan perempuan
tumbuh dalam standar usia yang sama. Kedua, dominasi laki-laki (suami)
terhadap perempuan (istri) dalam keluarga semakin mempunyai alasan pembenaran.
Suami yang berusia lebih tua cenderung merasa lebih berwenang dalam mengatur
dan memutuskan kebijakan keluarga. Ketiga, usia nikah yang relatif muda
kemudian langsung hamil, akan beresiko tingginya jumlah ibu meninggal pada saat
melahirkan.
c. Hukum
1. Pendapat Ibn Syubrumah dan Abu Bakr al-Asham,
sebagaimana d sebutkan dalam Fath al-Bari juz 9, halaman 237 yang menyatakan bahwa
pernikahan usia dini hukumnya terlarang, dan menyatakan bahwa praktek nikah nabi
dengan Aisyah adalah sifat kekhususan Nabi.
2. Pendapat Ibn Hazm yang memilah antara pernikahan
anaklaki-laki kecil dengan anak perempuan kecil. Pernikahan anak perempuan yang
masih kecil oleh bapaknya dibolehkan, sedangkan pernikahan anak lelaki yang
masih kecil dilarang.
3. Padadasarnya, Islam tidak memberikan batasan usia
minimal pernikahan secara definitive. Usia kelayakan perniakahan adalah kecakapan
berbuat menerima hak (ahliyatulada’ wa al-wujub), sebagai ketentuan sinn al
rusyd
4. A. Pernikahan usia dini hukumnya sah sepanjang
telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika menimbulkan mudharat.
B. Kedewasaan usia merupakan
salah satu indicator tercapainya tujuan pernikahan, yaitu kemaslahatan hidup
berumah tangga dan bermasyarakat serta jaminan keamanan bagi kehamilan.
5.
Guna merealisasikan kemaslahatan,
ketentuan perkawinan dikembalikan pada standarisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 sebagai pedoman.
4. Penutup
a. Kesimpulan
Sebenarnya dalam fiqih atau hokum Islam tidak ada
batasan minimal usia pernikahan. Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa wali
atau orang tua boleh menikahkan anak perempuannya dalam usia berapapun. Dasar dari
semua itu adalah pernikahan Nabi Muhammad SAW dan SitiAisyah. Beberapa riwayat menyebutkan
Aisyah dinikahkan Nabi SAW padausia 6 tahun dan tinggal bersama Nabi SAW pada usia
9 tahun. Sementara waktu Nabi SAW sudah berusia 50-an. Namun karena pertimbangan
maslahat, beberapa ulama memakruhkan pernikahan usia dini. Makruh artinya boleh
dilakukan namun lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang masih kecil belum siap
secara fisik atau psikis untuk memikul tugas sebagai isteri dan ibu rumahtangga,
meskipun ia sudah akil baligh atau sudah melalui masa haid. Oleh karena itu menikahkan
anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbulkan kerusakan
(kerusakan).
b. Saran
1. Untuk mencegah terjadinya pernikahan usia dini
yang berdampakpada hal-hal yang bertentangan dengan tujuan dan hikmah pernikahan.
Pemerintah untuk lebih meningkatkan sosialisasi tentang UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
2. Pemerintah, Ulama dan masyarakat diminta untuk
memberikan sosialisasi tentang hikmah perkawinan dan menyiapkan calon mempelai,
baik laki-laki maupun perempuan.
3.
Ketentuan perundang-undangan
yang tidak sejalan dengan ketentuan fikih Islam mengenai pernikahan, dan tidak sejalan dengan
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perlu disinkronisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Assyaukanie,Lutfi. 1998. Politik HAM dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih
Kontemporer, Bandung: Pustaka Hidayah.
Rofiq,Ahmad.1998. Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta : Raja GrafindoPersada.
[2] Lihat
Tafsir al-Thobari 14/142 juga lihat penjelasan para ulama tafsir tentang “syarh
al-kalimaat” dari wallai lam yahidhna misalnya dalam
kitab tafsir Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan karya
Abdurahman bin Nasr al-Sa’di. Taisir Karim al-Rahman oleh Abubakar
al-Jazairi, al-Tafsir al-Wasith karya Muhammad Sayyid
Thanthawi, al-Dur al-Mantsur fi ta’wil bi al-Ma’tsur karya
Jalaluddin al-Suyuthi, dll
HR. al-Daruquthni dari Anas ra dan seluruh
perawinya tsiqot sebagaimana dinyatakan Imam al-Haitsami dalam
kitab Majmu’ Zawaid wa Manba’ al Fawaid hadis no. 1529, diriwayatkan pula oleh
Ibnu Adi 7/216, tarjamah 2162 Tazid bin Abdul Malik bin al-Mughirah.)