PACARAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
1.
Latar belakang
masalah
Seiring perkembangan zaman dengan perkembangan teknologi dan ilmu-ilmu
berkembang sangat pesat, terutama ilmu dari bangsa Barat. Bahkan budaya-budaya mereka
pun masuk ke negara Indonesia dengan tidak terkontrol. Seperti suatu hubungan
yang dianggap legal untuk bisa bersama antara lawan jenis yang bukan mahrom,
yaitu yang sering anak muda jaman sekarang sebut dengan istilah pacaran. Lantas
bagaimana perspektif Islam sendiri
mengenai pacaran yang telah membudaya, bahkan sering dikata-kata seorang yang
tak punya pacar adalah anak jadul.
2. Tinjauan Hukum Islam
Pacaran dalam bahasa
Indonesia, pacar diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan
batin, biasanya untuk menjadi tunangan dan kekasih. Dalam praktiknya, istilah
pacaran dengan tunangan sering dirangkai menjadi satu. Muda-mudi yang pacaran,
kalau ada kesesuaian lahir batin, dilanjutkan dengan tunangan. Sebaliknya,
mereka bertunangan biasanya diikuti dengan pacaran. Agaknya, pacaran disini,
dimaksudkan sebagai proses mengenal pribadi masing-masing, yang dalam Islam
disebut dengan “ta’aruf” (saling kenal-mengenal).
Meskipun
disama-samakan dengan istilah ta’aruf dalam Islam, nampaknya praktek
yang berkembang sangat berbeda. Pacaran
sebuah hal yang menjadikan seakan-akan hal wajar untuk mereka antara lawan
jenis bisa selalu bersama bahkan berdua-duaan di tempat sepi. Padahal agama
Islam telah memberikan batasan-batasan dalam pergaulan antara laki-laki dengan
perempuan.
Seperti firman Allah Swt:
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ
سَبِيلا
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra’ ayat 32).
Rasulullah bersabda:
“Hati-hatilah kamu untuk menyepi dengan
wanita, demi zat yang jiwaku ada pada kekuasaan-Nya, tidak ada seorang
lelakipun yang menyendiridengan wanita, melainkan setan masuk diantara
keduanya. Demi Allah, seandainya seseorang laki-laki berdesakan dengan batu
yang berlumuran (lumpur/ lempeng hitam) yang busukaslah lebih baik baginya
daripada harus berdesakan dengan pundak wanita yang tidak halal. (HR.
At-Thabrani).
Dari dalil al-Qur’an dan Hadits diatas jelas
dilarangnya melakukan perbuatan-perbuatan yang mendekati terhadap perzinaan.
·
Kaidah ushul
Untuk menentukan
sebuah hukum haruslah benar-benar bijak dalam melihat situasi dan kondisi.
Yaitu جلب المصالح ودرء المفاسد(meraih yang maslahat
dan menolak yang mafsadat).
Ketika terdapat
maslahah dan mafsadah maka:
دفع المفاسد مقدم على جلب المصالح
(Menolak
mafsadah didahulukan dari pada meraih maslahat)
Maka jika
digadang-gadang proses pacaran akan menimbukan sebuah kamafsadatan, seperti
pada ayat diatas, yaitu akan mendekatkan pada perbuatan melampui batas bahkan sampai pada perzinaan.
Maka hal tersebut harus dihindari (ditolak).
لُعِنَ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ
بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (٧٨)كَانُوا لا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ
لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (٧٩)
“Telah dila'nati orang-orang
kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian
itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama
lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya
Amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS. al-Maidah ayat 78-79).
Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ
فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا
النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah
mempesona), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah
(penghuni) di atasnya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan
kalian. Maka
berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena sesungguhnya awal
fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu).
Namun jika proses pacaran hanya dilakukan secara
wajar-wajar saja dan tidak menjurus pada perbuatan yang dilarang oleh syara’
bahkan jika pacaran diniatkan secara sungguh-sungguh untuk jalan menempuh pada
sebuah pernikahan dengan catatan dalam prosesnya tersebut tidak melanggar
syara’, maka hal demikian diperbolehkan.
Suatu kewajaran kalau antara laki-laki dan perempuan saling
tertarik satu sama lainnya. Hal ini karena memang Allah menciptakan mereka dari
satu jiwa lalu menciptakannya berpasang-pasangan dan kemudian mengembangkannya
menjadi laki-laki dan perempuan yang banyak.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا
وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ
بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang
diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.” (QS.
Annisa : ayat 1).
زُيِّنَ لِلنَّاسِ
حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ
مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ
ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali’Imran ayat 14).
Dari ayat tersebut tegas menjelaskan bahwa dalam
diri manusia telah ditanamkan benih-benih cinta yang sewaktu-waktu bisa tumbuh
ketika menemukan kecocokan jiwa. Cinta dalam Islam tidak dilarang, karena ia
berada diluar wilayah kendali manusia.
Agama tidak melarang seorang berkasih-kasihan
dengan bercinta, karena hal tersebut merupakan naluri makhluk. Hanya saja agama
menghendaki kesucian dan ketulusan dalam hubungan itu, sehingga ditetapkannya
pedoman yang harus diindahkan oleh setiap orang, sehingga mereka tidak
terjerumus di dalam fahisyah (zina dan kekejian lainnya).
·
Hukum
Hukum pacaran harus sejalan
dengan maqasid syari’ah maka:
1.
Jika pacaran dilakukan dengan
melampui batas yang dilarang oleh syara’ maka hukumnya haram.
2.
Jika pacaran dilakukan diatas
ambang kewajaran apalagi sejalan dengan syara’ seperti untuk menempuh sebuah
ikatan pernikahan maka hukumnya boleh.
3.
Penutup
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa hukum
pacaran dalam perspektif Islam berada pada diri individu seseorang. Pada
intinya yang membuat pacaran hukumnya menjadi haram adalah bukan dari nama
pacaran itu sendiri, melainkan proses atau praktik yang dilakukan tersebut
sampai melampui batas-batas yang diperbolehkan syara’. Jadi pacaran itu
diperbolehkan jika tidak melanggar ketentuan syara.
Saran
Bahwa sebagai
seorang muslim dewasa yang bisa bijaksana dalam menentukan hukum terhadap
sesuatu. Sebaiknya mempertimbangkan setiap langkah yang kita lakukan. Dengan
demikian, diharapkan akan menghindarkan kita pada sesuatu yang melanggar
syariat agama dan akan menjauhkan diri dari fitnah dunia.
Seperti halnya
pacaran, sudah seharusnya diarahkan pada tujuan yang sejalan dengan syara’
yaitu menjalin hubungan pernikahan dan membangun rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah.
DAFTAR PUSTAKA
Azka, Darul dan M. Zainuri.2006. Potret
Ideal hubungan Suami Istri. Kediri: Lajnah Bahtsul Masa’il.
Tihami dan Sohari.
2009. Fiqih Munakahat: Kajian Fikih Nikah. Jakarta: Rajawali Pers.
Tihami
dan Sohari, Fiqih Munakahat: Kajian Fikih Nikah (Jakarta: Rajawali Pers,
2009) hlm. 21