Secara umum, Pesantren adalah sebuah asrama pendidikan Islam
tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu
keagamaan dibawah bimbingan seorang guru yang lebih dikenal dengan sebutan
kiai. Asrama untuk para siswa berada dalam kompleks pesantren dimana kiai
bertempat tinggal. Unsur-unsur dasar yang membentuk lembaga pesantren adalah
kiai, masjid, asrama dan kitab kuning. Sementara itu dalam tinjauan Abdurrahman
Wahid, unsur-unsur pesantren tersebut berfungsi sebagai sarana pendidikan dalam
membentuk perilaku sosial budaya santri. Peranan kiai dan santri dalam menjaga
tradisi keagamaan akhirnya membentuk sebuah subkultur pesantren yaitu suatu
gerakan sosial budaya yang dilakukan komunitas santri dengan karakter.
Pesantren berperan sebagai lembaga yang mengembangkan nilai moral-
spiritual, informasi, komunikasi timbal balik secara kultural dengan
masyarakatnya dan tempat pemupukan solidaritas umat
Jika dicermati setidak-tidaknya ada tiga karakteristik yang dikenali
sebagai basis utama kultur pesantren. Pertama, pesantren sebagai lembaga
tradisionalisme. Kedua, pesantren sebagai pertahanan budaya (cultural
resistance). Ketiga, pesantren sebagai pendidikan keagamaan.
A. Pengertian pesantren
Secara etimologi perkataan pesantren berasal dari
akar kata santri dengan awalan “Pe” dan akhiran “an” berarti “tempat
tinggal para santri”. Selain itu asal kata pesantren terkadang dianggap
gambungan dari kata “sant” (manusia baik) dengan suku kata “ira”
(suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan
manusia baik-baik. Kemudian Profesor John berpendapat bahwa istilah santri
berasal dari bahasa Tamil, yang berati guru mengaji. Secara garis besar, maka
dapat digambarkan pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang memiliki
kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya dalam
menyelenggarakan sistem pendidikan dan pengajaran agama.
Secara definitif, pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk
memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam (tafaqquh
fiddin) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman
hidup bermasyarakat sehari-hari.
B. Asal usul pesantren, pertumbuhan dan
perkembangannya
Menurut mastuhu, kapan pesantren pertama kali
didirikan, dimana dan oleh siapa, tidak dapat diperoleh keterangan yang pasti.
Dan hasil pendapatan yang dilakukan oleh Departemen Agama pada tahun 1984-1985
diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 atas nama
Pesantren Jan Tampes II di Pamekasan Madura. Tetapi hal ini diragukan karena
tentunya ada pesantren Jan Tampes I yang lebih tua.
Ada dua versi pendapat mengenal asal-usul dan
latar belakang berdirinya pesantren di Indonesia.
Pertama, Pesantren barakar pada tradisi Islam sendiri,
yaitu tradisi tarekat. Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat
pendidikan yang khas kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran
Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan
tarekat.
Kedua, Pesantren pada mulanya merupakan
pengambilalihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di
Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahasa sebelum datangnya Islam ke
Indonesia, lembaga pesantren sudah ada di negara ini.
Wahjoetomo mengatakan bahwa pesantren yang
berdiri di tanah ais, khusunya di Jawa dimulai dan dibawa oleh Wali Songo, dan
dikatakan pesantren pertama didirikan adalah “pondok pesantren pertama yang
didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau terkenal dengan sebutan Syekh
Maulana Maghribi.
Selanjutnya, menurut sumber lain, pesantren di
Indonesia baru diketahui keberadaannya dan perkembangannya setelah abad ke-16.
Karya-karya Jawa klasik seperti Serat Caboleh dan Serat Centini mengungkapkan
bahwa sejak permulaan abad ke-16 di Indonesi telah banyak dijumpai pesantren
yang besar yang mengajarkan berbagai kitab klasik.
Pada masa-masa berikutnya, lembaga pendidikan
pesantren berkembang terus dalam segi jumlah, sistem, dan materi yang
diajarkan. Bahkan pada tahun 1910 beberapa pesantren seperti pesantren
Denanyar, Jombang, mulai membuka pondok khusus untuk santri-santri wanita.
Selanjutnya pada tahun 1920-an mulai bermunculan pondok-pondok pesantren di
daerah Jawa Timur.
1. Tujuan berdirinya pesantren
Menurut M. Arifin, tujuan didirikannya pondok pesantren,
pada dasarnya terbagi kepada dua hal, yaitu:
a. Tujuan khusus, yaitu mempersiapkan para santri
untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang
bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.
b. Tujuan umum, yaitu membimbing anak didik untuk
menjadikan manusia yang berkepribadian Islam.
2. Prinsip-prinsip yang di terapkan di pesantren
a. Kebijaksanaan
b. Bebas terpimpin
c. Mandiri
d. Kebersamaan
e. Hubungan guru
f. Ilmu pengetahuan diperoleh disamping dengan
ketajaman akal juga sangat tergantung kepada kesucian hati dan berkah kiai
g. Kemampuan mengatur diri sendiri
h. Sederhana
i.
Metode pengajaran yang luas
j.
Ibadah
3. Elemen dalam pesantren.
Ada lima elemen. Yaitu, pondok, masjid, santri, kiai dan
pengajaran kitab-kitab kuning.
4. Metode-metode dalam pesantren
a. Metode sorogan
b. Metode wetonan dan bandongan
5. Tradisi pesantren (abudin nata)
Tradisi pesantren adalah segala sesuatu yang dibiasakan,
diapahami, dihayati dan dipraktikan di pesntren, yaitu berupa nilai-nilai dan
implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga membentuk kebudayaan dan
peradaban yang membedakannya dengan tradisi yang terdapat pada lembaga
pendidikan lainnya. Tradisi pesantren juga berarti nilai-nilai yang dipahami,
dihayati, diamalkan dan melekat pada seluruh komponen pesantren sebagai mana
tersebut diatas. Dalam kaitan hal ini, hasil penelitian para ahli menunjukkan
bahwa trasi yang ada di pesantren tersebut antara lain:
a.
Tradisi
rihlah ilmiah
Rihlah
ilmiah secara harfiah berarti perjalanan ilmu pengetahuan.
Sedangkan dalam arti yang biasa dipahami, rihlah ilmiah adalah melakukan
perjalanan dari suatu daerah ke daerah lain, atau dari satu negara ke negara
lain, dan terkadang bermukim dalam waktu yang cukup lama, bahkan tidak kembali
ke daerah asal.
Sejarah mencatat, tentang adanya ulama terkemuka asal
Indonesia yang melakukan rihlah ilmiah dari Indonesia ke Makkah, Mesir,
dan beberapa negara di dunia dalam waktu yang cukup lama yang dignakan bukan
hanya untuk menimba ilmu, melainkan juga mengajarkan dan mengembangkannya dalam
bentuk menulis buku. Mereka itu antara lain: Nawawi al-Bantani (1813-1897 M)
yang rihlah ilmiah ke Makkah dalam usia 15 tahun hingga beliau wafat
disana, serta beberapa negara lainnya seperti Syuria dan Mesir; Mahfud
al-Tirmisi (1338/1919 M) yang mulai rihlah ilmiah ke Makkah dalam usia 6
tahun; Khalil Bangkalan (1819-1925) yang bermukim di Makkah selama 12 tahun,
K.H.R. Asnawi Kudus (1861-1959) yang tinggal di Makkah selama 22 tahun; dan
hanyim Asy’ari (1871-1947) yang bermukim di Makkah lebih dari 10 tahun.
b.
Tradisi
menulis buku
Menulis buku merupakan salah satu tradisi yang dilakukan
oleh para kiai di pesantren. Beberapa ulama pimpinan pondok pesantren yang
namanya tersebut diatas, adalah termasuk para penulis yang produktif.
Diantaranya yaitu:
1)
Nawawi
al-Bantani misalnya menulis lebih dari 100 judul buku kitab.
2)
Mahfudz
al-Tirmisi juga dikenal sebagai penulis yang sangat produktif. Kitab-kitab
karangan Mahfudz yang berhasil ditemukan keturunannya yaitu berjumlah 20 kitab
karangan.
3)
K.H
Khalil Bangkalan yang mengkhususkan menulis fikih tentang pernikahan.
4)
K.H
Asnawi Kudus dengan karyanya antara lain Fashalatan, Jawab Soal pun Mu’taqad
yang lebih dikenal dengan nama Mu’taqad seked, Syari’at Islam, dan
terjemahan Jurumiyah tentang bahasa Arab.
5)
K.H
Hasyim Asy’ari, di antara karya tulis yang disusun oleh K.H Hasyim Asy’ari
banyak berkaitan dengan masalah hadits, akhlak, fikih dan pendidikan anak.
c.
Tradisi
meneliti
Tradisi meneliti dilihat dari sumbernya terdapat
penelitian bayabi, burhani, ijbari, jadali, dan ‘irfani. Tradisi
meneliti ini erat kaitannya dengan tradisi menulis sebagaimana tersebut diatas.
d.
Tradisi
membaca kitab kuning
Seorang peneliti asal Belanda, Martin van Bruinessen,
telah menunjukkan dengan jelas tentang adanya tradisi membaca kitab kuning di
Pesantren. Melalui tradisi membaca kitab kuning ini, para kiai pesantren telah
berhasil mewarnai corak kehidupan keagamaan masyarakat pada khususnya dan
kehidupan sosial kemasyarakatan pada umumnya.
e.
Tradisi
berbahasa Arab
Seiring dengan tradisi penulisan kitab-kitab oleh para
kiai sebagaimana tersebut diatas dengan menggunakan bahasa Arab, maka dengan
sendirinya telah menumbuhkan tradisi berbahasa Arab yang kuat di kalangan
pesantren.
Penggunaan bahasa Arab ini juga terjadi pada para kiai
yang menulis kitab di Indonesia. Sungguh pun mereka berada di Indonesia, namun
dalam menulis kitab mereka menggunakan bahasa arab melayu. Mereka mengetahui
bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah ditulis dalam bahasa Arab. Demikian pula bahasa
yang digunakan ketika shalat dan berdoa juga bahasa Arab.
f.
Tradisi
mengamalkan thariqat
Tasawuf tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan agama.
Bahkan, jika tasawuf itu adalah disiplin yang lebih berurusan dengan
masalah-masalah inti (batin), maka ia juga berarti merupakan inti
keagamaan (religiousity) yang bersifat esoteris.
g.
Tradisi
menghafal
Menghafal
adalah salah satu metode atau cara untuk menguasai mata pelajaran.
h.
Tradisi
berpolitik
Berkiprah
dalam bidang politik dalam arti teori dan praktik juga menjadi salah satu
tradisi di kalangan dunia pesantren pada umumnya.
i.
Tradisi lainnya
Tradisi lainnya yang dipraktikkan di pesantren yang lebih
bersifat sosial keagamaan, adalah tradisi ziarah kubur, tradisi haulan, tradisi
silaturahmi dengan sesama rekan santri.