Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama’ bahwa al-Qur’an
merupakan sumber hokum Islam. Namun, menurut sebagian besar ulama’, Imam Abu
Hanifah berbeda pendapat dengan jumhur ulama’ mengenai al-Qur’an itu mencakup
lafadz dan maknanya atau maknanya saja.
2. Imam Malik bin Anas.
Menurutnya, hakikat al-Qur’an adalah kalam Allah yang lafadz dan
maknanya dari Allah. Ia bukan makhluk karena kalam Allah termasuk sifat Allah.
Sesuatu yang termasuk sifat Allah tidak dikatakan makhluk, bahkan dia
memberikan predikat kafir zindiq terhadap orang yang menyatakan bahwa al-Qur’an
itu makhluk.
3. Imam al-Syafi’i.
Imam al-Syafi’I, sebagaimana para ulama’ lainnya, menetapkan bahwa
al-Qur’an merupakan sumber hokum Islam yang paling pokok, bahkan beliau
berpendapat bahwa tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun,
kecuali petunjuknya terdapat dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, Imam al-Syafi’I
senantiasa mencantumkan nash al-Qur’an setiap kali mengeluarkan pendatnya,
sesuai dengan metode yang digunakannya, yaitu deduktif.
4.
Imam Ahmad bin
Hanbal.
Al-Qur’an merupakan sumber dan tiangnya syariat Islam, yang di
dalamnya terdapat berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan perubahan
zaman dan tempat. Al-Qur’an juga mengandung hokum-hukum global dan penjelasan
mengenai akidah yang benar, disamping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama
Islam.
Imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana para ulama’ lainnya berpendapat
bahwa al-Qur’an itu sebgai sumber pokok hokum Islam, kemudian disusul oleh
sunnah. Namun, seperti halnya Imam al-Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal bahwa
sunnah mempunyai kedudukan yang kuat disamping al-Qur’an, sehingga tidak jarang
beliau menyebutkan bahwa sumber hokum Islam itu adalah Nash, tanpa menyebutkan
al-Qur’an dahulu atau sunnah dahulu, tetapi yang dimaksud Nash tersebut adalidakah
al-Qur’an dan sunnah.
C.
Dilalah Qoth’I dan Zhanni
Dilihat dari unsur dilalah terhadap hukum, ayat-ayat alqur’an
terbagi atas dua bagian sebagai berikut ini:
1. Ayat-ayat yang qoth’I (tegas dan jelas) petunjuknya.
Yaitu ayat-ayat al-qur’an yang tegas dan jelas maknanya, tidak
dapat ditakwil, tidak mempunyai makna yang lain, dan tidak tergantuhng pada
hal-hal lain di luar nash itu sendiri. Contoh yang dapat dikemukakan disini
adalah ayat yang menetapkan kadar peambagian waris, keharaman rima, keharaman
daging babi, hukuman had zina sebanyak 100 kali didera, dan sebagianya.
Ayat-ayat yang menyangkut hal-hal tersebut, maknanya jelas dan tegas dan
menunjukkan arti dan maksud tertentu, dan dalam memahaminya tidak memerlukan
ijtihad.
2. Ayat-ayat yang zhanni (tidak tegas dan tidak jelas) petunjuknya
Yaitu ayat-ayat al-qur’an yang menunjukkan suatu makna yang dapat
di ta’wil atau nash yang mempunyai makna lebih dari satu, baik karena lafadznya
mustarab atau homonym maupun susunan kata-katanya dapat dipahami berbagai cara,
seperti dalalah isyaratnya, iqtidha-nya, dan sebagainya.
D.
Sifat hukum yang dikandung Al-Qur’an
Para ulama ushul fiqh bahwa al-Qurr’an sebagai
sumber hukum islam telah menjelaskan hukum-hukum yang terkandung didalamnya
dengan cara :
1.
Penjelasan secara rinci (juz’i) terhadap sebagian hukum-hukum yang
dikandungnya, seperti yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum waris,
hukum-hukum yang terkait dengan masalah pidana atau hudud dan kafarat.
Hukum-hukum yang rinci ini, menurut para ahli ushul fiqh, disebut sebagai hukum
ta’abudi yang tidak bisa dimasuki oleh logika.
2.
Penjelasan al-Qur’an terhadap sebagian hukum-hukum itu bersifat global
(kulli), umum, dan mutlaq, seperti dalam masalah sholat yang tidak dirinci
berapa kali sehari dikerjakan, berapa rokaat untuk satu kali sholat, apa rukun
dan syaratnya. Demikian juga dalam masalah zakat, tidak dijelaskan secara rinci
benda-benda yang wajib dizakatkan, berapa nishob, dan bberapa kadar yang harus
dizakatkan. Untuk hukum-hukum yang bersifat global, umum, dan mutlaq ini,
Rosulullah saw. Melalui sunnahnya, bertugas menjelaskan, mengkhususkan dan
membatasinya. Hal
ini yang diungkapkan dalam al-Qur’an
dalam surat an-Nahl, 16 :44:
وَاَنْزَلْنَا
اِلَيْكَ الذّكْرَى لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِلَ اِلَيْهِمْ
“Dan kami turuunkan kepada engkau (Muhammad) al-Qur’an
agar dapat engkau jelaskan kepada mereka apa-apa
yang diturunkan Allah kepada mereka.”
E.
Pengertian As-Sunnah
Sunnah artinya cara yang dibiasakan atau cara yang dipuji.
Sedangkan menurut istilah agama yaitu perkataan nabi, perbuatan dan taqrir
(yakni ucapan dan perbuatan sahabat yang beliau diamkan dengan arti
membenarkannya). Dengan demikian, sunnah Nabi dapat berupa : sunnah Qauliyah
(perkataan), sunnah Fi’liyah (perbuatan), sunnah Taqririyah (tetapan).
Sedangkan secara terminologi, definisi Sunah
dapat dilihat dari tiga disiplin ilmu;
1. Ilmu Hadis. Para ahli hadis mengindentikkan
Sunnah dengan hadis, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.
2. Ilmu
Ushul fiqih. Menurut ulama ahli ushul fiqih, Sunnah adalah apa yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad, berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan
yang berkaitan dengan hukum, dan
3. Ilmu fiqih. Definisi Sunnah menurut ahli fiqih
hampir sama dengan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih. Akan
tetapi, istilah sunnah dalam fiqih juga dimaksudkan sebagai salah satu bentuk
taklif, yaitu suatu perbuatan yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan
tidak berdosa apabila ditinggalkan.
Muhammad Thahir
al-Jawabi (Tanpa Tahun:64) menambahkan dengan satu definisi lagi, yaitu menurut
para ulama ahli akidah. Menurut mereka, Sunnah adalah sesuatu yang bersesuaian
dengan al-Kitab, Hadis, dan ijma’ umat terdahulu, berupa akidah-akidah dan
ibadah-ibadah, dimana kebalikannya adalah bid’ah.
F.
Kududukan dan fungsi As-Sunnah
Sunnah merupakan sumber kedua setelah al-Qur’an. Hal ini karena sunnah
merupakan penjelas al-Qur’an, sehingga yang dijelaskan mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi dari pada yang menjelaskan. Namun demikian, kedudukan dan fungsi
sunnah terhadap al=-Qur’an sekurang-kurangnya ada 3 hal berikut ;
1. Sunnah sebagai muakkid (penguat)
al-Qur’an. Hukum islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu al-Qur’an dan
sunnah. Dengan demikian, tidak heran jika banyak sekali sunnah yang menerangkan
tentang kewajiban sholat, zakat, puasa, larangan musyrik dan lain-lain.
2. Sunnah sebagai mubayyin (penjelas)
al-Qur’an. Sunnah adalah penjelas (bayan al-Tasyri’)
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ
لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (٤٤)
“dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar
kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829]
dan supaya mereka memikirkan,”
penjelas
sunnah terhadap al-Qur’an dapat dikelompokkan dalam tiga bagian berikut ini :
a.
Penjelasan
terhadap hal yang mujmal atau global, seperti diperintahkannya sholat dalam
al-Qur’an tidang belumk
diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan sholat
lainnya. Semuanya itu telah dijelaskan oleh sunnah. Sebagaimana sabda
Rosulallah :
صلوا كما
رايتموني اصلى
Artinya : “sholatlah kamu semua sebagai mana kumu
telah melihat saya sholat.”
b. Penguat
secara mutlaq, dimana sunnah merupakan penguat bagi dalil-dalil umum yang ada
dalam al-Qur’an.
c. Sunnah
sebagai tahsis terhadap dalil-dalil al-Qur’an yang masih umum.
3. Sunnah
sebagai musyarr’i (pembuat syariat). Tidak diragukan lagi bahwa sunnah
merupakan pembuat hukum syara’, yaitu hukum yang belum ditemukan ketentuannya
dalam al-Qur’an, misalnya diwajibkannya zakat fitrah, disunnahkannya aqiqah dan
lail-lain.
G.
Kehujjahan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam
Status sunnah sebagai hujjah Sunnah adalah sumber hukum Islam yang
kedua. Oleh karena itu, kewajiban mengikuti, kembali, dan berpegang teguh pada
sunnah merupakan perintah Allah Swt dan juga perintah Nabi Saw, pembawa
syari’at yang agung. Perintah itu tertuang dalam firmanNya sebagai berikut:
وَأَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا
Artinya : “dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada
rasul (Nya) dan berhati-hatilah,” (QS. Al-maidah : 92)
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
Artinya : “barang siapa yang menaati Rasul itu, sesunggguhnya ia
telah menanti Allah,” (QS. An-nisaa’ : 80)
Berdasarkan dalil-dalil diatas, maka orang-orang yang mengingkari
sunnah sebagai hujjah, dengan dalil cukup mengamalkan al-qur’an, sungguh mereka
itu terlalu kecil dan rendah. Mereka benar-benar terjerumus ke dalam kebhatilan
dan kesalahan. Seruan mereka agar taat kepada Allah dan mengikuti al-qur’an,
tanpa mengikuti sunnah, itu merupakan perbuatan maksiat dan bit’ah Al-qur’an
secara tegas menyebutkan, bahwa orang-orang yang tidak mau mendasarkan
hukum-hukumnya dan mengembalikan segala persoalannya kepada Rasulullah Saw,
serta tidak mau tunduk dan patuh secara total terhadap hukum-hukum dan
perintah-perintahnya dengan penuh kesadaran, adalah termasuk orang-orang yang
beriman
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maliki,
Muhammad alwi. 2004. Ilmu Ushul Hadits. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bakry, Nazar. 1996. Fiqh dan
Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta.
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Khalaf, Syekh Abdul Wahab. 1999. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Rineka
Cipta.
Rohayana, Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqh. Pekalongan: STAIN
Pekalongan Press.