Esensialisme dalam permulaannya, telah meletakkan
ajarannya dalam hal-hal berikut :
1.
Berkaitan dengan hal-hal esensial
atau mendasar yang seharusnya manusia tahu dan menyadari sepenuhnya tentang
dunia di mana mereka tinggal dan juga bagi kelangsungan hidupnya.
2.
Menekankan data fakta dengan
kurikulum yang tampak bercorak vocational.
3.
Konsentrasi studi pada
materi-materi dasar tradisional seperti: membaca, menulis, sastra, bahasa
asing, matematika, sejarah, sains, seni dan musik.
4.
Pola orientasinya bergerak
dari skill dasar menuju skill yang bersifat semakin kompleks.
5.
Perhatian pada pendidikan yang
bersifat menarik dan efisien.
6.
Yakin pada nilai pengetahuan
untuk kepentingan pengetahuan itu sendiri.
7.
Disiplin mental diperlukan
untuk mengkaji informasi mendasar tentang dunia yang didiami serta tertarik
progressivism.[1]
Dasar dan tujuan filsafat pendidikan Islam pada
hakikatnya identik dengan dasar tujuan ajaran Islam itu sendiri, keduanya
berasal dari sumber yang sama, Al-Qur'an dan Hadits Rasulullah.[2] Dalam kaitannya
dengan pandangan filsafat pendidikan Islam pada konsep pendidikan esensialisme
ini, terdapat beberapa pandangan yang perlu mendapatkan perhatian serius,
sehingga dapat dijadikan sebagai bahan dan alat ukur pada pengembangan ilmu
pendidikan Islam itu sendiri, pandangan yang dimaksudkan adalah:
1.
Pandangan secara Ontologi
Ontologi esensialisme adalah
suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur
isinya dengan tiada ada pula. Pendapat ini berarti bahwa bagaimana bentuk,
sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam
yang ada.
Dalam pandangan ini, filsafat
pendidikan Islam memberikan pandangan bahwa prinsip yang mendasari dalam
pendidikan adalah konsep mengenai sang pencipta (Khalik), ciptaan-Nya (Makhluk),
hubungan antara ciptaan-Nya dan pencipta serta hubungan antara sesama ciptaan
dan utusan yang menyampaikan risalah (Rasul).
Dari pandangan ini juga,
filsafat pendidikan Islam memiliki titik tolak pada konsep the creature of
God, yaitu manusia dan alam. Sebagai pencipta, maka Allah yang telah
mengatur di alam ciptaan-Nya. Maka lebih luas jauh dalam pandangan ini,
filsafat pendidikan Islam telah menguasai seluruh aspek pendidikan, yakni Tuhan
(Allah) sebagai pencipta, manusia (makhluk) dan ciptaan lain, penghubung
(Rasul) yang menghubungkan khalik dan makhluk-Nya.[3]
2.
Pandangan secara Epistemologi
Epistemologi esensialisme
adalah Teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan, inilah jalan untuk
mengerti. Sebab jika manusia mampu menyadari realita sebagai mikrokosmos dan
makrokosmos, maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas apa
rasionya mampu memikirkan kesemestaannya. Berdasarkan kualitas inilah dia
memperoduksi secara tepat pengetahuannya dalam benda-benda, ilmu alam, biologi,
sosial, dan agama.
Pada pandangan ini, filsafat
pendidikan Islam lebih memberikan lingkup yang semakin luas, sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur'an surat as-Syura ayat 52;
“Dan
Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami.
sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (Al Quran) dan tidak pula
mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang
Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami.
dan Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”
Ayat tersebut menjelaskan
adanya relevansi sebagai dasar pendidikan agama mengingat bahwa diturunkannya
Al-Qur'an adalah untuk memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus. Kemudian yang
menjadi dasar pandangan tentang pengetahuan manusia memuat pemikiran bahwa
pengetahuan adalah potensi yang dimiliki manusia, terbentuk berdasar kemampuan
nalar, memiliki kadar dan tingkatan yang berbeda sesuai dengan obyek.[4]
3.
Pandangan secara Aksiologi
Dasar ontologi dan epistemologi
sangat mempengaruhi pandangan aksiologi. Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal,
tergantung pada pandangan-pandangan idealisme dan realisme sebab esensialisme
terbina oleh keduanya; idealisme melihat sikap, tingkah laku maupun ekspresi
feeling manusia mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Sedang
realisme melihat sumber pengetahuan manusia terletak pada keteraturan
lingkungan hidup. Sehingga nilai baik dan buruk didasarkan atas keturunan dan
lingkungan.
Filsafat pendidikan Islam
memiliki pandangan aksiologi dimana di antara prinsip-prinsip yang terpenting
yang mengandung nilai praktis di bidang pendidikan adalah; keyakinan bahwa
akhlak termasuk diantara makna yang terpenting dalam hidup ini. Akhlak tidak
terbatas pada penyusunan hubungan antara manusia dengan yang lainnya tetapi
lebih dari itu juga mengatur hubungan manusia dengan segala yang tercipta di
dalam wujud dan kehidupan bahkan mengatur hubungan antara hamba dengan Tuhan.[5]
Satu hal pokok yang menjadi
inti dalam konsep adalah tujuan, tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk
pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikan esensialisme mencakup ilmu
pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia.
Kurikulum sekolah bagi esenisalisme semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan
sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan keagungan. Maka dalam sejarah
perkembangannya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola idealisme,
realisme dan sebagainya.[6]
Dalam hal ini filsafat pendidikan Islam memiliki
tujuan yang lebih kompleks dengan dual dimensi; dimensi pertama, untuk mencapai
kesejahteraan hidup dan keselamatan di akhirat. Dimensi kedua, berhubungan
dengan fitrah kejadian manusia, yaitu sebagai pengabdian kepada Allah Swt (ibadah).
http://www.infogue.com/viewstory/2008/05/29/esensialisme/?url=http://durrah-uin-bi-2b.blogspot.com/2008/05/esensialisme.html
Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan
Pengembangan Pemikirannya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hlm.
19.
Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2005, Cet. I, hlm. 123.
Muhammad Noorsyam, Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang: Penerbit
IKIP Malang, 1978, hlm. 153.