A. MUDHARABAH
1.
Pengertian
Mudharabah
Mudharabah adalah bahasa penduduk Irak dan qiradh atau muqaradhah bahasa
penduduk Hijaz. Namun, pengertian qiradh dan mudharabah adalah
satu makna.
Mudharabah berasal dari
kata al-dharab (الضَّرَبُ), yang berarti secara harfiah adalah bepergian atau
berjalan.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. an-Nisaa’
4: 101 yang artinya:
“Dan
apabila kamu bepergian di muka bumi, maka
tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang
orang-orang Kafir. Sesungguhnya orang-orang Kafir
itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Secara terminologis mudharabah adalah kontrak (perjanjian) antara pemilik modal (rab al-mal)
dan pengguna dana (mudharib) untuk digunakan dalam aktifitas
yang produktif, dimana
keuntungan dibagi dua antara pemodal dan pengelola modal. Kerugian jika ada,
ditanggung oleh pemilik modal, jika kerugian itu terjadi dalam keadaan normal. Pemodal
(rab al-mal) tidak boleh intervensi kepada pengguna dana (mudharib)
dalam menjalankan usahanya.
Dalam kitab Fathul
Mu’in disebutkan:
(وَيَصِحُّ
قِرَاضٌ) وَهُوَ اَنْ يَعْقِدَ عَلى مَالٍ يَدْفَعُهُ لِغَيْرِهِ لـِيُتَّجَرَ فِيْهِ
عَلى اَنْ تَكُوْنَ الِّربْحُ مُشْترَكًا بَيَنِهِمَا (فِى نَقْدٍ خَالِصٍ مَضْرُوْبٍ)
لِاَنَّهُ عَقْدُ غَرَرٍ لِعَدَمِ انْضِبَاطِ الْعَمِلِ، وَالْوُثُوْقِ بِالرِّبْحِ
“Definisi qiradh yaitu suatu akad
penyerahan harta oleh pemiliknya kepada orang lain untuk diperdagangkan dengan
keuntungan dimiliki berdua; adalah sah dilakukan (dalam
uang emas perak murni yang telah tercetak),
karena qiradh merupakan akad gharar atau akad yang tidak jelas (lantaran tidak
terbatasnya perbuatan serta tidak ada kepastian
mendapat untung)”.
2.
Dasar Hukum
Mudharabah
Dasar kebolehan
praktik mudharabah adalah QS. Al-Baqarah 2: 198:
}§øs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§ 4
“ Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu”.
Adapun
dalil sunah adalah bahwasanya Nabi Saw pernah melakukan akad mudharabah (bagi
hasil) dengan harta Khadijah ke negeri Syam (waktu itu Khadijah belum menjadi
istri Rasulullah Saw). Dan hadits dari Syuhaibah, Rasulullah
Saw bersabda:
ثَلَاثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ الْبَيْعُ إِلَى اَجَلٍ وَالْمُقَارَضَةٌ
وَخَلَطُ الْبُر بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ
وَلَالِلْبَيْعِ
"Ada tiga
perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, member modal, dan
mencampur gandum dengan kurma untuk keluarga, bukan untuk dijual”. (HR.Ibnu Majah).
3.
Rukun dan
Syarat Mudharabah
Munurut ulama Syafi’iyah,
rukun qiradh
atau mudharabah ada enam yaitu:
1)
Pemilk barang
yang menyerahkan barangnya;
2)
Orang yang
bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari
pemilik barang;
3)
Aqad
mudharabah, dilakukan oleh
pemilik dengan pengelola barang;
4)
Maal, yaitu harta pokok atau modal
5)
Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba;
6)
Keuntungan.
Menurut Sayyid
Sabiq dalam bukunya
Fiqih Islam rukun mudharabah adalah ijab dan Kabul
yang keluar dari orang yang memiliki keahlian.
Syarat-syarat
sah mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu
sendiri. Syarat-syarat sah mudharabah sebagai berikut:
a.
Modal atau barang
yang diserahkan itu berbentuk uang tunai.
b.
Bagi orang yang
melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf, maka dibatalkan akad
anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang yang ada di bawah
pengampuan.
c.
Modal harus
diketahui dengan jelas agar laba atau keuntungan yang akan dibagikan kepada dua
belah pihak sesuai perjanjian yang telah disepakati
d.
Keuntungan yang
akan menjadi pemiik pengelola dan pemilik modal harus jelas presentasenya.
e.
Melafadzkan
ijab dari pemiik modal.
f.
Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk
berdagang di negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada
waktu-waktu tertentu.
4.
Kedudukan Mudharabah
Hukum
mudharabah berbeda-beda karena adanya perbedaan-perbedaan keadaan. Maka,
kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah (qiradh) juga
tergantung pada keadaan.
Karena
pengelola modal perdagangan mengelola modal tersebut atas izin pemilik harta,
maka pengelola modal merupakan wakil pemilik barang tersebut dalam
pengelolaannya, dan kedudukan modal adalah sebagai wikalah ‘alaih (objek
wakalah).
Ditinjau
dari segi akad, mudharabah terdiri atas dua pihak. Bila ada keuntungan
dalam engelolaan uang, laba itu dibagi dua dengan presentase yang telah disepakati.
Karena bersama-sama dalam keuntungan maka mudharabah juga sebagai
syirkah.
Ditinjau
dari segi keuntungan yang diterima oleh pengelola harta, pengelola mengambil
upah sebagai bayaran dari tenaga yang dikeluarkan, sehingga mudharabah dianggap
sebagai ijarah (upah-mengupah atau sewa-menyewa). Apabila pengelola modal
mengingkari ketentuan-ketentuan mudharabah yang telah disepakati kedua
belah pihak, maka telah terjadi kecacatan dalam mudharabah.
5.
Macam-macam Mudharabah
Secara umum mudharabah terbagi menjadi dua jenis: mudharabah
muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
a.
Mudharabah
muthlaqah
Yang dimaksud dengan transaksi mudharabah muthlaqah adalah
bentuk kerja sama antara shahib al mal dan mudharib yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu,
dan daerah bisnis.
b.
Mudharabah
muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/
specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib
dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, dan tempat usaha.
B. MUZARA’AH
1.
Pengertian
Muzara’ah
Menurut bahasa al-muzara’ah
memiliki dua arti, yang pertama al-muzara’ah yang berarti tharh
al-zur’ah (طَرْحُ الزُّرْعَةْ) (melemparkan
tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar). Makna yang pertama adalah
makna majaz dan makna yang kedua ialah makna khakiki.
Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap
untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari
hasil panen.
2.
Dasar Hukum
Muzara’ah
Diriwayatkan oleh Abu Dawud
dan al-Nasa’i dari Rafi’ r.a. dari Nabi saw, beliau
bersabda:
إِنَّمَا يَزْرَعُ ثَلَاثَةٌ رَجُلٌ لَهُ أَرْضٌ فَهُوَ يَزْرَعُهَا وَرَجُلٌ
مُنِحَ اَرْضٌا فَهُوَ يَزْرَعُهَا وَرَجُلٌ اِسْتَكْرَى أَرْضًا بِذَهَبٍ اَوْفِضَّةٍ
(رواه أبوداود و النسائ)
“Yang boleh bercocok tanam hanya tiga macam
orang: laki-laki yang ada tanah, maka dialah yang berhak menanamnya; laki-laki yang diserahi manfaat tanah, maka dialah yang menanaminya
dan laki-laki yang menyewa tanah dengan emas atau perak.”
Menurut al-Syafi’iyah, haram hukumnya melakukan muzara’ah. Ia beralasan
dengan hadits sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim
dari Tsabit Ibn al-Dhahak:
أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم نَهَى عَنِ الْمُزَارَعَةِ
بِلْمُؤْجَرَةِ وَقَالَ لَابَأسَ (رواه مسلم)
“Bahwa Rasulullah
Saw telah melarang bermuzara’ah dan memerintahkan sewa-menyewa saja dan Rasulullah
Saw bersabda, “itu
tidak mengapa.”
3.
Landasan Hukum
Imam Hanafi dan Jafar tidak mengakui keberadaan muzara’ah dan menanggapnya
fasid. Begitu pula Imam Syafi’i,
tetapi sebagian ulama Syafi’iyah mengakuinya dan mengaitkannya dengan musyaqah
(pengelolaan kebun) dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi mereka, tidak
membolehkan mukhabarah sebab tidak ada landasan yang membolehkannya.
Diantara alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah,
Jafar, Imam Syafi’I adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir Ibn
Abdullah bahwa Rasulullah melarang Mukhabarah,
أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى
عَنِ الْمُخَابَرَةِ (رواه مسلم)
“Rasulullah SAW melarang melakukan al-Mukhobarah (HR.
Muslim).
Demikian pula dalam hadits Ibn Umar yang juga
diriwayatkan oleh Muslim bahwa Rasulullah SAW
melarang al-Mujara’ah
Sabda Rasulullah SAW:
أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَهَى عَنِ الْمُزَارَعَةِ (رواه مسلم)
“Rasulullah SAW melarang melakukan al-Mukhobarah (HR.
Muslim).
4.
Rukun dan Syarat-syarat
Muzara’ah
Menurut Hanafiyah, rukun muzara’ah ialah akad, yaitu ijab dan qabul antara pemilik dan kerja. Secara rinci, jumlah rukun muzara’ah menurut Hanafiyah
ada empat, yaitu:
1)
Tanah
2)
Perbuatan
pekerja
3)
Modal
4)
Alat-alat untuk
menanam.
Sedangkan syarat-syarat muzara’ah adalah sebagai berikut:
a.
Pemilik lahan
harus menyerahkan lahan yang akan digarap kepada pihak yang akan menggarap.
b.
Penggarap wajib
memberikan keuntungan kepada pemilik lahan bila pengelolaan yang dilakukan
menghasilkan keuntungan.
c.
Akad muzara’ah
dapat dilakukan secara mutlaq dan atau terbatas.
d.
Jenis benih
yang akan ditanam dalam muzara’ah terbatas harus dinyatakan secara pasti dalam
akad dan diketahui oleh penggarap.
e.
Penggarap dan
pemilik lahan dapat melakukan kesepakatan mengenai pembagian hasil pertanian
yang akan diterima oleh masing-masing pihak.
f.
Penyimpangan
yangt dilakukan penggarap dalam akad muzara’ah dapat mengakibatkan
batalnya akad itu.
Sedangkan muzara’ah
menurut Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat Abu Hanifah),
berpendapat bahwa muzara’ah memiliki beberapa syarat yang berkaitan dengan aqid
(orang yang melangsungkan akad), tanaman, tanah yang ditanami, dan waktu
bercocok tanam.
C. MUSAQAH
1.
Pengertian
Musaqah
Musaqah diambil dari
kata al-saqa (السَّقَي), yaitu
seseorang bekerja pada pohon tamar (تَمر), anggur (mengurusnya), atau pohon-pohon
yang lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu
dari hasil yang diurus sebagai imbalan.
Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah,
dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan
sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah (bagian) tertentu dari
masa panen.
Definisi
lain, pengertian musaqah yaitu perlakuan oleh pemilik kepada
orang lain untuk mengairi serta merawat pohon kurma atau anggur yang ditentukan
dalam akad dan diketahui oleh dua belah pihak, atas perjanjian bahwa buah yang
baru atau telah ada dimiliki bersama.
2.
Dasar Hukum
Musaqah
Atas
hukum musaqah ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Ibnu Hamid ra, bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
أَعْطَى خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ
أَوْ زَرْعٍ وَفِي رِوَايَةٍ دَفُعَ إِلَى الْيَهُوْدَ خَيْبَرَ وَأَرْضَهَاعَلَى
اَنْ يَعْتَمِلُوْهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَأَنَّ لِرَسُوْلِ اللهِ وَسَلَّمَ شَطْرَ ثَمَرَتِهَا
“Memberikan
tanah khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan, baik buah-buahan maupun
pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul
menyerahkan tanah khaibar itu
kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari
hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi Saw”.
3.
Rukun Musaqah
Rukun-rukun musaqah menurut ulama’ Syafi’iyah
yaitu sebagai berikut:
1) Shigat, yang
dilakukan kadang-kadang dengan jelas (sharih), menggunakan akad musaqah (bagi hasil), dan dengan samaran (kinayah), contohnya akad yang menggunakan kata ijarah(sewaan).
Ulama Hanabillah memperbolehkannya sebab yang terpenting adalah maksudnya akan
tetapi menurut Ulama Syafi’iyah tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah
(sewaan) dalam akad musaqah, sebab berlainan akad.
2)
Dua orang atau
pihak yang berakad, disyaratkan bagi orang-orang yang berakad dengan ahli
(mampu) untuk mengelola akad, seperti baligh, berakal, dan tidak berada di
bawah pengampuan.
3)
Kebun dan semua
pohon yang berbuah, semua pohon yang berbuah boleh diparohkan (bagi hasil),
baik yang berbuah tahunan (setahun sekali) maupun yang buahnya hanya satu kali
kemudian mati.
4)
Masa kerja,
hendaklah ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan.
5)
Buah, hendaklah
ditentukan bagian masing-masing pihak.
Ulama’
berbeda pendapat dalam masalah yang diperbolehkan dalam musaqah. Imam
Abu Dawud berpendapat bahwa yang boleh dimusaqahkan hanya kurma. Menurut Syafi’iyah,
yang boleh di-musaqahkan hanyalah kurma dan anggur saja. Sedangkan
menurut Hanafiyah, semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi
dapat di-musaqah-kan, seperti tebu. Menurut Imam Malik, musaqah
dibolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar kuat, seperti
delima, tin, zaitun, dan pohon-pohon yang serupa dengan itu
dan dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang berakar tidak kuat, seperti semangka
dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki kemampuan untuk menggarapnya.
Menurut madzhab Hanbali, musaqah
diperbolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan. Dalam kitab al-Mughni,
Imam Malik berkata, musaqah diperbolehkan untuk pohon tadah hujan
dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang perlu disiram.
Qaul qadim Imam asy-Syafi’I
memperbolehkan musaqah pada segala pepohonan; seperti itu pula pendapat
Malik dan Ahmad.
Tidak sah musaqah dilakukan untuk
selain pohon anggur dan kurma, kecuali karena terikutkan pada keduanya. Apabila
memperlakukan musaqah untuk bibit kurma agar ditanam terlebih dahulu,
kemudian pohon atau buahnya bila telah berbuah dimiliki bersama, maka musaqah
disini tidak sah; tetapi menurut pembicaraan segolongan ulama’
salaf,
adalah boleh atau sah. Dalam hal ini (tidak sah), maka pohon kurma menjadi hak
pemilik bibit dan ia wajib membayar sewa sepatutnya untuk bumi dimana pohon
itu tertanam (kalau bumi itu miliknya maka wajib membayar gaji sepatutnya untuk
perbuatan musaqahnya).
4.
Ketentuan Musaqah
a.
Pemilik lahan
wajib menyerahkan tanaman kepada pihak pemelihara.
b.
Pemelihara
wajib memelihara tanaman yang menjadi tanggung jawabnya.
c.
Pemelihara
tanaman disyaratkan memiliki ketrampilan untuk melakukan pekerjaan.
d.
Pembagian hasil
dari pemeliharaan tanaman harus dinyatakan secara pasti dalam akad.
e.
Pemeliharaan
tanaman wajib mengganti kerugian yang timbul dari pelaksanaan tugasnya jka
kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaiannya.
5. Tugas
Penggarap
Kewajiban
penyiram (musaqi') menurut Imam
Nawawi adalah mengerjakan apa saja yang
dibutuhkan pohon-pohon dalam rangka pemeliharaannya untuk mendapatkan buah.Maksud memelihara asalnya
(pokoknya) dan tidak berulang setiap tahun adalah pemeliharaan hal-hal tertentu
yang terjadi sewaktu-waktu (insidental). Seperti membangun pematang, menggali sungai, mengganti
pohon-pohon yang rusak atau pohon yang tidak produktif adalah kewajiban pemilik
tanah dan pohon-pohonnya (pengadaan bibit).
6. Penggarap
Tidak Mampu Bekerja
Apabila penggarap tidak mampu bekerja keras karena sakit atau
bepergian yang mendesak, maka musaqah menjadi fasah (batal).
Apabila dalam akad musaqah disyaratkan bahwa penggarap harus menggarap
secara langsung (tidak dapat diwakilkan), jika tidak disyaratkan demikian, maka
musaqah tidak menjadi batal, tetapi penggarap diwajibkan untuk
mendapatkan penggantinya selama ia berhalangan itu. Pendapat ini menurut madzab
Hanafi.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa musyaqah batal apabila pengelola
tidak lagi mampu bekerja untuk mengurus pohon-pohon yang ada di kebun
atau di sawah
yang di-musaqah-kan, sebab penggarap
telah kehilangan kemampuan untuk menggarapnya.
7.
Wafat Salah
Seorang ‘Aqid
Menurut madzab Hanafi, apabila salah seorang
yang berakad meninggal dunia, sedangkan pada pohon tersebut sudah tampak
buah-buahnya (hampir bisa dipanen) walaupun belum tampak kebagusan buah
tersebut, demi menjaga kemaslahatan, penggarap melangsungkan pekerjaan atau
dilangsungkan oleh salah seorang atau beberapa orang ahli warisnya, sehingga
buah itu masak atau pantas dipanen sekalipun hal ini dilakukan secara paksa
terhadap pemilik, jika pemilik berkeberatan, karena dalam keadaan seperti ini
tidak ada kerugian dalam masa fasakh-nya, akad dan matangnya buah,
penggarap tidak berhak memperoleh upah.
Apabila penggarap atau ahli waris berhalangan
bekerja sama sebelum berakhirnya waktu atau fasakhnya akad, mereka tidak boleh
dipaksa tetapi jika mereka memetik buah yang belum layak dipanen, hal itu
mustahil. Hak berada pada pemilik
atau ahli warisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1969. Fiqh ‘Ala al-Arba’ah,
As’ad, Aliy. t.th . Fathul Mu’in, Kudus: Menara
Kudus.
Hasan, M.Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam ,Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Mardani. 2012. Fiqih Ekonomi Syariah, Jakarta:
Kencana.
Rasyid, Sulaiman. 1996. Fiqih Islam, Bandung: PT
Sinar Baru Algesindo.
Suhendi, Hendi. 2005. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Syafe’i, Rachmat. 2004. Fiqih Muamalah, Bandung:
Pustaka Setia.
Taqiyyuddin. Kifayat al-Akhyar, Semarang: PT Karya
Toha Putra.