Belakangan ini istilah poligami menjadi suatu hal yang sudah
tidak asing lagi untuk diperdengarkan, banyak dikalangan masyarakat dan para
tokoh terkenal di Indonesia yang juga melakukan poligami. Poligami dilakukan
oleh orang yang sudah terikat dalam suatu pernikahan. Pernikahan merupakan
ikatan antara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik,
asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir (mental), pendidikan, diakui sah oleh
Negara dan agama. Sedangkan Poligami ialah suatu system pernikahan dimana salah
satu pihak (suami) mengawini lebih dari satu istri pada waktu bersamaan, artinya
istri-istri tersebut masih dalam tanggungan suami tidak diceraikan tetapi masih
sah menjadi istrinya. Hal ini tentu menjadi pro kontra dikalangan masyarakat
bangsa Indonesia.
Dalam
kondisi tertentu poligami diperbolehkan bagi seseorang, namun dengan ketentuan
syarat yang berlaku. Dalam kesempatan ini kami akan mencoba memaparkan tentang
poligami, baik dari pendapat para ulama, dari segi hukum Indonesia
dan dari segi agama. Setiap apapun perbuatan pasti memiliki dampak bagi pelakunya,
begitupun dengan poligami. Poligami membawa dampak tersendiri bagi orang yang
berpoligami baik positif maupun negatif.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligami
Kata-kata “poligami” terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimologi,
poli artinya “banyak”, gami artinya “istri”. Jadi poligami itu artinya beristri
banyak. Secara terminologi, poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih
dari satu istri”. Atau, seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi
paling banyak empat orang”.
Pengertian poligami, menurut bahasa
Indonesia, adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini
beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.
Berabad-abad
sebelum Islam di wahyukan, masyarakat manusia di belahan dunia telah mengenal
dan mempraktekkan poligami. Poligami di praktekkan secara luas oleh Yunani,
Persia dan Mesir Kuno. Di
Jazirah Arab sebelum Islam, sudah
mempraktekkan poligami, akan tetapi poligami yang tidak terbatas. Sejumlah
riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku saat itu mempunyai puluhan
istri, bahkan tidak sedikit kepala suku memiliki istri sampai seratus.
Maka dari itu,
setelah munculnya Islam para wanita mendapatkan perlakuan yang tidak
merendahkan martabat dan harga diri seorang wanita. Setelah turunnya Q.S.
an-Nisa’ : 3 Islam membatasi jumlah istri hanya empat itupun dengan
ketentuan harus adil. Jika tidak bisa berlaku
adil maka cukup satu istri saja.. Bunyi dari QS. an-Nisa’ ayat3 :
Hal ini berdasarkan firman
Allah Swt:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
(النساء :٣)
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa’: 3).
Suami wajib berlaku adil
terhadap istri-istrinya dalam urusan: pangan, pakaian, tempat
tinggal, giliran berada pada masing-masing istri, dan lainnya yang
bersifat kebendaan, tanpa membedakan istri yang kaya dengan istri yang
miskin atau dari golongan tinggi dengan golongan bawah.
Jika suami khawatir
berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak mereka, maka ia haram
melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya hanya tiga
orang, maka ia haram menikahi istri yang keempatnya, bila ia hanya sanggup
memenuhi hak-hak istri dua orang, maka ia haram menikahi istri yang
ketiganya, dan seterusnya.
Berkenaan dengan
ketidakadilan suami terhadap istri-istrinya, Nabi bersabda:
عن أَبِي هُريْرَة أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله على
وسلمَ قال: مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَ أَتَان فَمَالَ اِلَى اِحْدَاهُمَا جَاءَ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقَهُ مَائِلُ (رواه ابوداود والترمذى والنسائ وابن حبَان)
Artinya: Dari
Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Nabi Saw bersabda:
Barang siapa yang mempunyai dua orang istri, lalu memberatkan kepada salah
satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan bahunya miring.
B. Alasan Poligami
Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang
suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan agama telah
memberi izin dalam (Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar
pemberian izin poligami oleh pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
Undang-undang perkawinan seperti diungkapkan sebagai berikut.
Pengadilan Agama memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri
lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami diatas, dapat
dipahami bahwa alasannya mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan,
yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI disebut sakinah,
mawaddah, dan rahmah) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila
tiga alasan yang disebut diatas menimpa suami istri maka dapat dianggap rumah
tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia.
Kalau umat Islam mempedomani pasal 57 di atas
serta terkait yaitu pasal 55, 56, dan 58, maka tipis kemungkinan orang berpoligami.
Walaupun pasal 55 ayat (1) KHI memberi peluang bolehnya beristri sampai empat
orang dalam waktu yang bersamaan, tetapi pasal 57 ini mengunci dengan
persyaratan yang ketat. Meskipun dibolehkan poligami dengan syarat adil, itupun
dapat dilakukan hanya sebagai pintu darurat saja.
C. Syarat-Syarat Poligami
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut.
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan agama sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/ istri-istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
istri-istri anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila istri/ istri-istrinya tidak mungkin dimintai
persrtujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya dua tahun, atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan agama.
Menurut Abdul Karim Zaidan, syarat
bolehnya berpoligami dalam tinjauan fiqih hanya ada dua yaitu:
1. Kemampuan bersikap adil
2. Kemampuan untuk memberikan nafaqah.
Jika diduga kuat seorang suami yang ingin
berpoligami tidak mampu bersikap adil, maka haram baginya untuk melakukannya.
Adapun kemampuan memberikan nafkah merupakan syarat bagi umumnya perkawinan.
D. Prosedur Poligami
Prosedur poligami menurut
Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan bahwa apabila
seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan.
Mengenai prosedur atau
tata cara poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada ketentuan
secara pasti. Namun di indonesia dengan kompilasi hukum islamnya telah
menggatur hal tersebut sebagai berikut:
Pasal 56 KHI
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII peraturan pemerintahan No.9 Tahun 1975.
3. Perkawinan dengan istri kedua,ketiga,atau keempat tampa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57 KHI
Pengadilan agama hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila:
a.
Istri tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai istri.
b.
Istri dapat mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat di sembuhkan.
c.
Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58 KHI
1)
Selain syarat utama yang
disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin dari peradilan agama,
harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pada pasal 5
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
a. Adanya persetujuan
istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka.
2)
Dengan tidak mengurangi
ketentuan pasal 41 huruf (b) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975,
persetujuan istri atau istri –istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan
lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan lisan istri pada sidang pengadilan agama.
3)
Persetujuan dimaksud pada
ayat (1) huruf (a) tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
istri atau istri-istrinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau
istri-istrinya sekurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat
penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau
memberi persetujuan , dan permohonan untuk beristri lebih dari satu orang
berdasarkan atas salah satu alasan yang di atur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57,
pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan
mendengar istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan agama, dan terhadap
penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
DAFTAR PUSTAKA