BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum. Maka,
pada dasarnya filsafat pendidikan menggunakan cara kerja filsafat dan akan
menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang
realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai.
Di dalam filsafat terdapat beraneka ragam aliran, maka dalam
filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai macam aliran. Seperti Naturalisme,
idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, progresivisme, esensialisme,
perenialisme, dan lain sebagainya. Masing-masing aliran tersebut mempunyai
pandangan tersendiri terhadap pendidikan.
Dan di dalam makalah ini akan dibahas mengenai pandangan aliran eksistensialisme
terhadap pendidikan.
BAB
II
PENDIDIKAN
MENURUT EKSISTENSIALISME
A.
Pengertian Pendidikan
Menurut Ahmad D. Marimba dalam bukunya “Pengantar Filsafat
Pendidikan”, pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.
Sedangkan, dalam buku “Filsafat Pendidikan” karangan
Suparlan Suhartono, arti pendidikan dalam pendekatan eksistensial dapat
diartikan secara luas dan sempit.
Secara luas, Pendidikan adalah segala kegiatan pembelajaran yang
berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kegiatan kehidupan. Pendidikan
berlangsung di segala jenis, bentuk, dan tingkat lingkungan hidup, yang
kemudian mendorong pertumbuhan segala potensi yang ada di dalam diri individu.Dalam
arti luas, pada dasarnya pendidikan adalah wajib bagi siapa saja, kapan saja,
dan di mana saja, karena menjadi dewasa, cerdas, dan matang adalah hak asasi
manusia pada umumnya. Berarti pendidikan memang harus berlangsung di setiap
jenis, bentuk, dan tingkat lingkungan, mulai dari lingkungan individual, sosial
keluarga, lingkungan masyarakat luas dan berlangsung di sepanjang waktu. Jadi,
kegiatan pendidikan berlangsung dengan memadati setiap jengkal ruang lingkup
kehidupan.
Dan secara sempit, pendidikan adalah seluruh kegiatan belajar yang
direncanakan, dengan materi terorganisasi, dilaksanakan secara terjadwal dalam
sistem pengawasan, dan diberikan evaluasi berdasar tujuan yang telah
ditentukan. Kegiatan belajar seperti itu dilaksanakan di dalam lembaga
pendidikan sekolah. Tujuan utamanya adalah pengembangan potensi intelektual
dalam bentuk penguasaan bidnag ilmu khusus dan kecakapan merakit sistem
teknologi.
Dari penjelasan di atas tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar seorang individu untuk membimbing individu yang
lain dalam mengambangkan potensi jasmani dan rohani agar tercipta kepribadian
yang utama. Dan tidak hanya itu, pendidikan juga mengembangkan potensi
intelektual seorang individu juga. Pendidikan ini juga berlangsung sepanjang
zaman.
B.
Pengertian Filsafat Eksistensialisme
Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari aliran
filsafat yang menamakan dirinya eksistensialisme. Adapun para tokohnya antara
lain Kierkegaard (1813-1815), Nietzsche (1811-1900), yang mengatakan bahwa
Tuhan telah mati, dan Jean Paul Sartre, yang mengatakan “Man is nothing else
but what he makes of himself”. Inti ajaran filsafat ini adalah respek
terhadap individu yang unik pada setiap orang. Eksistensi mendahului esensi.
Manusia lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensinya masing-masing.
Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme
adalah suatu penolakan terhadap suatu demikiran abstrak, tidak logis, atau
tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan rasional.
Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan
pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh
hal-hal yang sifatnya abstrak dan spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai
dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta
keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.
Karakteristik utama eksistensilisme oleh Peter A. Angeles yang
tercantum dalam buku Filsafat Pendidikan Islam karangan Abd. Rahman
Assegaf, diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, antara lain:
1.
Eksistensi mendahului esensi;
2.
Kebenaran itu subjektif;
3.
Alam tidak menyediakan aturan moral. Prinsip-prinsip moral
dikonstruksi oleh manusia dalam konteks bertanggungjawab atas perbuatan mereka
dan perbuatan selainnya;
4.
Perbuatan individu tidak dapat diprediksi;
5.
Individu mempunyai kebebasan berkehendak secara sempurna;
6.
Individu tidak dapat membantu melainkan sekedar membuat pilihan, dan
7.
Individu dapat secara sempurna menjadi selain daripada
keberadaannya.
Lebih lanjut, Harold H. Titus mencoba mencari sifat umum
eksistensialisme, yang antara lain tampak pada klasifikasi berikut:
1.
Eksistensialisme menekankan kesadaran ada (being),
dan eksistensi. Nilai kehidupan tampak melaui pengakuan terhadap individual,
yakni “I (aku)” dan bukan It.
2.
Eksistensialisme percaya bahwa tak ada pengetahuan yang terpisah
dari subjek yang mengetahui. Kita mengalami kebenaran dalam diri kita sendiri.
Kebenaran tidak dapat dicapai secara abstrak. Oleh sebab itu, kaum
eksistensialis menggunakan bentuk-bentuk sastra dan seni untuk mengekspresikan
perasaan dan hati.
3.
Eksistensialisme menekankan individual, kebebasan, dan
pertanggungjawabannya.
4.
Eksistensialis menekankan keputusan dan tindakan, pemikiran dan
analisis saja tidaklah cukup.
Implikasi eksistensialisme dalam kehidupan manusia pada intinya
terletak pada sikap subjektivitas dan individualitas manusia. Dengan demikian,
orang cenderung bebas berbuat menurut jati dirinya dengan slogan be your self.
Dalam hal pendidikan, eksistensialisme bisa merepotkan penyelenggara, mengingat
tidak bisa menyusun kurikulum dan mengingat perlakuan yang seragam hubungan
guru-murid bersifat informal dan proses belajar-mengajar cenderung laissez
faire. Maka, bila dicermati, keempat pandangan tentang manusia di atas memberi
penekanan pada dimensi dan aspek tertentu dalam diri manusia.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa aliran
eksistensialisme memandang manusia sebagai individu yang bebas. Bebas melakukan
dan mendefinisikan dirinya sendiri secara individual. Manusia tidak lain adalah
bagaimana dia menjadi dirinya sendiri dan menyadari adanya orang lain, sehingga
dapat menciptakan dunianya sendiri yang berarti bagi dirinya dan bagi kehidupan
orang lain atau lingkungannya. Hal inilah yang disebut dengan respek terhadap
orang lain seperti penjelasan di atas.
C.
Pandangan Filsafat Eksistensialisme tentang Realitas, Pengetahuan,
Nilai, dan Pendidikan
1.
Realitas
Menurut aliran eksistensialisme ini, realitas adalah kenyataan
hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas, manusia harus menggambarkan
apa yang ada dalam diri manusia, bukan yang ada di luar kondisi manusia.
2.
Pengetahuan
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat
fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan
peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakan dirinya
terhadap kesadaran manusia. Pengetahuna manusia tergantung kepada pemahamannya
tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas,
pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh
pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan
dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah akan dijadikan alat untuk
merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana anak harus
patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi anak
berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.
3.
Nilai
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan
dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya
sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia
memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan di antara
pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat akan
menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut
sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan
melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan
untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus
berkemampuan untuk menciptakan tujuannya sendiri. Apabila seseorang mengambil
tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan
tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuan sendiri, yang harus ia capai dalam
setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi.
4.
Pendidikan
Eksistensialisme sebagai filsafat, sangat menekankan individualitas
dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk
unik, dan secara unik pula ia bertanggungjawab terhadap nasibnya. Dalam
hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi mengemukakan bahwa
eksistensialisme berhubungan sangat erat sekali dengan pendidikan, karena
keduanya saling bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah
yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian,
dan kebebasan (kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah
keberadaan; manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
D.
Implikasi Filsafat Eksistensialisme dalam Pendidikan
Menurut A. Chaedar alwashilah, di dalam kelas, guru berperan
sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan
memberikan berbagai bentuk jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas
dari nalar, maka kaum eksistensilis menganjurkan pendidikan sebagai cara
membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembengunan nalar. Sejalan
dengan tujuan itu kuriklum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan
untuk dipilih siswa. Dapat ditebak bahwa pelajaran-pelajaran humaniora akan
mendapat penekanan relatif besar. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang
memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, atara lain dalam bentuk karya
sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk memungkinkan siswa
“berfilsafat” tentang makna dari pengalaman hidup, cinta, dan kematian.
Pendidikan vokasional lebih sebagai cara mengajar siswa mengenal dirinya bukan
untuk mendapatkan penghidupan. Dalam bidang seni, aliran ini mendorong
kreatifitas dan imaginasi siswa bukan sekedar meniru dan membeo apa yang sudah
ada. Siswa dilihat sebagai individu, dan belajar seyogianya disesuaikan dengan
kecepatan siswa dan siswa mengarahkan belajar untuk kepentingan dirinya
sendiri.
Uyoh Sadulloh dalam bukunya Filsafat Pendidikan, menjelaskan
tentang implikasi filsafat eksistensialisme dalam pendidikan sebagai berikut:
1.
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu
mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki
kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dnegan pemenuhan dirinya,
sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan
ditentukan berlaku secar umum.
2.
Kurikulum
Kaum eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hali
itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu
tingkatan kepekaan personal disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum
ideal adalah kurikulum yang memberikan
para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk
mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka
sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran
tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan
materi dimana individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan
dunianya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap
humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat
mengadakan instrospeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus
didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan
keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan.
Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah
harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
3.
Proses belajar-mengajar
Menurut Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme
dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog
merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi
merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan
merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada
pengetahuan yang tidak fpeksibel, dimna guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh
disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka
ia hanya akan merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan
siswa. Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan,
dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai
manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dri pengetahuan
tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan
melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa
sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus
menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan
berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi.
Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada
siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah
menjadi miliknya sendiri.
4.
Peranan guru
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna
apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri
di dalamnya. Kendatipun demikian dengan kebebasan yang kita miliki,
masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan makna bagi
kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998),
seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada
eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan
situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”.
Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam
mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun
begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi
mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari
kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang,
tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan
dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki
siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih
alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak
terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa
harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus
belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama
sehingga siswa mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan.
Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam
kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang
mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan
eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang
pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog
dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam
pemenuhan dirinya.
Sedangkan menurut Power
(1982), yang dikutip oleh Uyoh Sadulloh, beberapa implikasi filsafat pendidikan
eksistensialisme adalah sebagai berikut:
1.
Tujuan pendidikan
Memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua
bentuk kehidupan.
2.
Status siswa
Makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggungjawab atas
pilihannya. Suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pribadi.
3.
Kurikulum
Yang diuatamakan adalah kurikulum liberal. Kurikulum liberal merupakan
landasan bagi kebebasan manusia. Kebebasan memiliki aturan-aturan. Oleh karena
itu, di sekolah diajarkan pendidikan sosial, untuk mengajar “respek”
(rasa hormat) terhadap kebebasan untuk semua. Respek terhadap kebebasan bagi
yang lain adalah esensial. Kebebasan dapat menimbulkan konflik.
4.
Peranan guru
Melindungi dan memelihara kebebasan akademik, di mana mungkin guru
pada hari ini, besok lusa mungkin menjadi murid.
5.
Metode
Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode
apapun yang dipakai harus merujuk pada tata cara untuk mencapai kebehagiaan dan
karakter yang baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Assegaf, Abd.
Rahman. 2014. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: RajaWali Pers.
Sadulloh, Uyoh.
2014.Filsafat Pendidikan (Bandung: Alfabeta.
Zuhairini. 2012.Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.