Filsafat kontuktivisme dan Pendidikan
1.
Pengertian Filsafat Pendidikan
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena
kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep
mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari
solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi
tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses
dialektika.
Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat
dalam pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena
masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang
dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta
lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan,
dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.
Menurut A. Chaedar Alwasilah: Filsafat
Pendidikan adalah studi ihwal tujuan, hakikat, dan isi yang ideal dari
pendidikan (Chaedar, 2008:101). Al-Syaibany: Filsafat Pendidikan adalah
aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk
mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Hal senada dikatakan
Hasan Langgulung: Filsafat Pendidikan adalah aktivitas pemikiran teratur yang
menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan,
menyelaraskan, mengharmoniskan, dan menerapkan nilai-nilai dan tujuan-tujuan
yang ingin dicapainya (Jalaluddin, 2007:19,158). Sedang George R. Knight
mengatakan: Filsafat Pendidikan tidak berbeda dengan filsafat umum, ia
merupakan filsafat umum yang diterapkan pada pendidikan sebagai sebuah filsafat
spesifik dari usaha serius manusia (Knight, 2007:21). Sementara Imam Barnadib
mengatakan: Filsafat Pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya merupakan
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan (Barnadib, 1986:14).
Berdasar pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan adalah
ilmu yang membahas pendidikan secara filosofi, atau ilmu yang membahas secara
filosofi mengenai pendidikan.
2.
Pengertian Filsafat Konstruktivisme
Von Glaserfeld menuturkan, Konstruktivisme
adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah
bentukan (konstruksi) kita sendiri (Suparno, 2012:18). Sementara
menurut Doolitle dan Camp (1999) inti dari konstruktivisme adalah aktif
memahami dan membangun pengetahuan sendiri berdasar pengalamannya. Fosnot
menyatakan konsep bahwa peserta didik membangun pengetahuan berdasar pengalaman
dinamakan konstruktivisme. Pengetahuan bukanlah kenyataan ontologis. Kita tidak
dapat mengerti realitas (kenyataan) yang sesungguhnya. Yang kita mengerti, bila
boleh disebut suatu realitas, adalah sktruktur konstruksi kita akan suatu
objek. Realitas hanya ada sejauh berhubungan dengan pengamat. Pengetahuan
merupakan konstruksi dari kita yang mengetahui, yang sedang belajar. Realitas tidak
akan eksis selama berdiri sendiri, realitas akan dipahami ada bila berhubungan
dengan pengamat.
Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah tertentu tetapi merupakan suatu proses
menjadi. Letak kebenaran dari pengetahuan dalam riabilitasnya, yaitu berlakunya
konsep atau pengetahuan itu dalam penggunaan. Semakin dalam dan luas suatu
pengetahuan dapat digunakan, semakin luas kebenarannya.
Jean Piaget menyatakan bahwa pengetahuan
konseptual tidak dapat ditransfer dari seseorang ke orang lainnya, melainkan harus
dikonstruksi oleh setiap orang berdasar pengalaman mereka sendiri. Menurut von
Glaserfeld, pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari
pikiran seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru) ke pikiran orang yang belum
punya pengetahuan (peserta didik). Bahkan bila guru bermaksud untuk mentransfer
konsep, ide dan pengertiannya kepada peserta didik, pemindahan itu harus
diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh peserta didik sendiri dengan pengalaman
mereka.
Von Glaserfeld membedakan tiga level
konstruktivisme dalam kaitan hubungan pengetahuan dan kenyataan, yakni
konstruktivisme radikal, realisme hipotesis, dan konstruktivisme yang biasa.
Konstruktivisme radikal, pengetahuan adalah suatu pengaturan atau organisasi
dari suatu obyek yang dibentuk oleh seseorang. Mengesampingkan hubungan antara
pengetahuan dan kenyataan sebagai kriteria kebenaran. Kita hanya tahu apa yang
dikonstruksi oleh pikiran kita. Pengetahuan bukanlah representasi kenyataan.
Realisme hipotesis, pengetahuan sebagai suatu hypotesis dari suatu struktur
kenyataan dan sedang berkembang menuju pengetahuan yang sejati yang dekat
dengan realitas. Konstruktivisme yang biasa, pengetahuan sebagai suatu gambaran
yang dibentuk dari kenyataan suatu objek.
Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk proses
pembentukan pengetahuan itu, seperti (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan
kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan
kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman
yang satu daripada yang lain . Pembentukan pengetahuan bukanlah memiliki
kebebasan tanpa batas melainkan terdapat pembatas yang mebingkai pembentukan
pengetahuan tersebut. Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat membatasi
proses konstruksi pengetahuan, yaitu (1) konstruksi yang lama, (2) domain
pengalaman kita, dan (3) jaringan struktur kognitif kita. Belajar: peran
peserta didik diutamakan dan keaktifan peserta didik untuk membentuk
pengetahuan dinomorsatukan. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan
pengalaman yang sudah ada, dengan cara membandingkan informasi baru dengan
pemahamannya yang sudah ada. Bahan pengajaran perlu mempunyai perkaitan dengan
pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar. Paham yang memiliki sifat
generatif ini memandang manusia dapat mengetahui sesuatu dengan inderanya.
Pengetahuan bukan sesuatu kenyataan ontologis, dan tidak dapat ditransfer,
melainkan pemindahan pengetahuan harus dinterpretasikan dan dikonstruksi oleh
setiap orang berdasar pengalaman yang dimikili mereka sendiri. Pembentukan
pengetahuan pun bukan tanpa batas melainkan memiliki pembatas yang menjadi bingkai
pemebentukan pengetahuan.
3.
Gagasan Pokok Aliran Konstruktivisme
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh
Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme.
Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan
filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia
adalah tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti
mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan
pada struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang
menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun
menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008).
Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean
Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama
dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang
melebihi gagasan Vico.
Untuk menjawab bagaimana kita dapat memperoleh
pengetahuan? Kaum konstruktivis menyatakan bahwa kita dapat mengetahui sesuatu
melalui indera kita. Dengan berinteraksi terhadap obyek dan lingkungannya
melalui proses melihat, mendengar, menjamah, membau, merasakan dan lain-lainnya
orang dapat mengetahui sesuatu. Misalnya, dengan mengamati pasir, bermain
dengan pasir, seorang anak membentuk pengetahuannya akan pasir. Bagi kaum
konstruktivis, pengetahuan itu bukanlah suatu yang sudah pasti, tetapi
merupakan suatu proses menjadi. Misalnya, pengetahuan kita akan “anjing” mulai
dibentuk sejak kita masih kecil bertemu dengan anjing. Pengetahuan itu makin
lengkap, disaat kita makin banyak berinteraksi dengan anjing yang
bermacam-macam.
B.
Konsep Dasar Aliran Filsafat Konstruktivisme
Tentang Pendidikan
1.
Hakikat Pendidikan Menurut Aliran Filsafat
Konstruktivisme
Teori konstruktivisme adalah suatu proses
pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun
konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh
karena itu proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa
sehingga mampu mendorong siswa untuk mengorganisasi pengalamannya sendiri
menjadi pengetahuan yang bermakna.
Teori ini mencerminkan siswa memiliki kebebasan
berpikir yang bersifat eklektik, artinya siswa dapat memanfaatkan teknik
belajar apapun asal tujuan belajar dapat tercapai.
Pendidikan jika diartikan sebagai latihan
mental, moral, dan fisik (jasmaniah) yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi
untuk melaksanakan tugas kewajiban dan tanggung jawab dalam masyarakat selaku
hamba Allah, maka pendidikan berarti menumbuhkan personalitas (kepribadian)
serta menanamkan rasa tanggung jawab. Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan
islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk
memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam
telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.
Pandangan konstruktivisme menurut Kukla adalah
“all our concepts are constructed”. Hal ini dapat diartikan bahwa semua konsep
yang didapat oleh setiap organism merupakan suatu hal dari proses konstruksi.
Menurut Kukla, pada dasarnya setiap individu membentuk realitas dalam
perspektif mereka masing-masing.
Menurut Bidell dan Fischer, “constructivism
characterizes the acquisition of knowledge as a product of the individual’s
creative self-organizing activity in particular environments” artinya bahwa konstruktivisme
memiliki karakteristik adanya perolehan pengetahuan sebagai produk dari
kegiatan organisasi sendiir oleh individu dalam lingkungan tertentu
Sedangkan konstruktivisme menurut Bruning
merupakan perspektif psikologis dan filosofis yang memandang bahwa
masing-masing individu membentuk atau membangun sebagian besar dari apa yang
mereka pelajari dan pahami.
Dari sedikit pegertian di atas, maka bisa
dikatakan bahwa pendidikan menurut konstruktivisme adalah sebuah upaya latihan
yang bertjuan untuk menciptakan kepribadian melalui upaya-upaya pembangunan
karakter.
Dikatakan melalui upaya pembangunan karakter,
karena dalam pelaksanaan pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran
konstruktivisme ini guru melakukan berbagai upaya yang mampu menciptakan
pemahaman siswa sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal
serta pembelajaran yang dilakukan harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi
(membangun) pengetahuan, bukan menerima pengetahuan.
2.
Tujuan
Umum Pendidikan Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan
diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks,
pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru
dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya
menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan
persoalan hidupnya. Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana
mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan
pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh
filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan
serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru
dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan
rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan
inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat,
memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang
kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu
dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan
dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar
tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik.
Jika kita mengetahui bahwa tujuan pendidikan,
khususnya pendidikan islam pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita
ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia
sebagai hamba Allah lahir dan batin, dunia dan akhirat.
Namun, jika kita lihat lebih khusus lagi,
tujuan dari pendidikan islam adalah untuk menumbuhkan pola kepribadian manusia
yang bulat melalui latihan kejiwaan, kecerdasan otak, penalaran, perasaan, dan
indera. Pendidikan ini harus melayani
pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual,
jasmaniah, ilmiah, maupun secara perseorangan atau kelompok. Dan pendidikan ini
mendorong semua aspek tersebut kea rah keutamaan serta pencapaian kesempurnaan
hidup. Sehingga, tujuan terakhir dari pendidikan Islam itu terletak dalam
realisasi sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, baik secara
perorangan, masyarakat, maupun sebagai umat manusia keseluruhannya.
Dan setelah melihat tujuan dari pendidikan
seperti di atas, maka adanya konstruktivisme dalam pendidikan sangat
diperlukan. Hal ini dikarenakan, melalui penerapan konstruktivisme siswa dapat
membangun sendiri pengetahuan mereka sehingga kegiatan pembelajaran lebih
bermakna bagi mereka. Hal ini dapat dikemas melalui kegiatan pembelajaran
terpadu yang telah mengembangkan paham konstruktivisme yang menyatakan bahwa
pengetahuan dibentuk sendiri oleh individu dan pengalaman merupakan kunci utama
dari belajar bermakna.
3.
Hakikat Guru Menurut Aliran Filsafat
Konstruktivisme
Dalam pembelajaran konstruktivis menurut
Suparno (1997:16) menyatakan bahwa peran guru atau pendidik dalam aliran
konstruktivisme ini adalah sebagai fasilitator dan mediator yang tugasnya
memotivasi dan membantu siswa untuk mau belajar sendiri dan merumuskan
pengetahuannya. Selain itu guru juga berkewajiban untuk mengevaluasi
gagasan-gagasan siswa itu, sesuaikah dengan gagasan para ahli atau tidak.
Menurut prinsip konstruktivis, seorang guru
punya peran sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar
siswa berjalan dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada siswa yang belajar dan
bukan pada disiplin ataupun guru yang mengajar. Fungsi sebagai mediator dan
fasilitator ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai
berikut:
a.
Menyediakan pengalaman belajar yang
memungkinkan siswa ikut bertanggung jawab dalam membuat design, proses, dan
penelitian. Maka jelas memberi pelajaran atau model ceramah bukanlah tugas
utama seorang guru.
b.
Guru menyediakan atau memberikan
kegiatan-kegiatan yang merangsang keingin-tahuan siswa, membantu mereka untuk
mengekspresikan gagasan mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya (Watt &
Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang berpikir siswa secara produktif
dan mendukung pengalaman belajar siswa.
c.
Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah
pemikiran siswa itu jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan
apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang
berkaitan. Guru membantu dalam mengevaluasi hipotesa dan kesimpulan siswa.
Disini guru perlu mengerti mereka sudah pada taraf mana?
Guru perlu belajar mengerti cara berpikir
siswa, sehingga dapat membantu memodifikasikannya. Baik dilihat bagaimana jalan
berpikir mereka itu terhadap persoalan yang ada. Tanyakan kepada mereka
bagaimana mereka mendapatkan jawaban itu. Ini cara yang baik untuk menemukan
pemikiran mereka dan membuka jalan untuk menjelaskan mengapa suatu jawaban
tidak jalan untuk keadaan tertentu (Von Glasersfeld, 1989).
d.
Dalam sistem konstruktivis guru dituntut
penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Guru perlu mempunyai pandangan yang
sangat luas mengenai pengetahuan dari bahan yang mau diajarkan. Pengetahuan
yang luas dan mendalam akan memungkinkan seorang guru menerima pandangan dan
gagasan siswa yang berbeda dan juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah
gagasan siswa itu jalan atau tidak. Penguasaan bahan memungkinkan seorang guru
mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai kepada suatu pemecahan persoalan,
dan tidak terpaku kepada satu model.
Tanggung jawab seorang guru adalah menyediakan
dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin untuk belajar secara aktif dimana
peran siswa bisa menciptakan, membangun, mendiskusikan/ membandingkan,
bekerjasama, dan melakukan eksplorasi eksperimentasi (Setyosari, Herianto,
Effendi, Sukadi,1996). Tugas guru hanyalah mengamati atau mengobservasi,
menilai, dan menunjukkan hal-hal yang perlu dilakukan siswa.
4.
Hakikat Murid Menurut Aliran Filsafat
Konstruktivisme
Para siswa menciptakan atau membentuk
pengetahuan mereka sendiri melalui tingkatan atau interaksi dengan dunia. Siswa
tidak lagi diposisikan bagaikan bejana kosong yang siap diisi. Dengan sikap
pasrah siswa disiapkan untuk dijejali informasi oleh gurunya. Atau siswa dikondisikan
sedemikian rupa untuk menerima pengetahuan dari gurunya. Siswa kini diposisikan
sebagai mitra belajar guru. Guru bukan satu-satunya pusat informasi dan yang
paling tahu. Guru hanya salah satu sumber belajar atau sumber informasi.
Sedangkan sumber belajar yang lain bisa teman sebaya, ratorium, televisi, koran
dan internet.
Siswa diberikan kebebasan untuk mencari arti
sendiri dari apa yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep
dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka
dan siswa bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Mereka membawa pengertian
yang lama dalam situasi belajar yang baru. Mereka sendiri yang membuat
penalaran atas apa yang dipelajarinya dengan cara mencari makna,
membandingkannya dengan apa yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perlukan
dalam pengalaman yang baru.
5.
Hakikat Pembelajaran Menurut Aliran Filsafat
Konstruktivisme
Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan
proses aktif pelajar mengkonstruksikan arti sebuah teks, dialog, pengalaman
fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan
menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang
sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut
antara lain bercirikan sebagai berikut:
a.
Belajar berarti membentuk makna. Makna
diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami.
Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
b.
Konstruksi arti adalah proses yang terus menerus.
Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan
rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
c.
Belajar bukanlah kegiatan mengumpulan fakta,
melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang
baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu
sendiri (Fosnot, 1996), suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan
pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d.
Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada
waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut
situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk
memacu belajar.
e.
Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman
pelajar dengan dunia fisik dan lingkungan.
f.
Hasil belajar seseorang tergantung pada apa
yang telah diketahui pelajar konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang
mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Paul Suparno 2001:61).
Tahapan mengkonstruksi tidak serta merta
terwujud tanpa melalui proses. Menurut Jean Piaget, seorang anak maju melalui
empat tahap perkembangan kognitif antara lahir dan dewasa, yaitu tahap
sensorimotor, pra operasional, operasi konkret, dan operasi formal. Tahap-tahap
tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tahap
|
Perkiraan Usia
|
Kemampuan-KemampuanUtama
|
Sensorimotor
|
Lahirsampai 2 tahun
|
Terbentuknyakonsep
“kepermanenanobjek” dankemampuan gradual dariperilakurefleksifkeperilaku yang
mengarahkepadatujuan.
|
Pra Operasional
|
2 sampai 7 tahun
|
Perkembangankemampuanmenggunakansimbol-simboluntukmenyatakanobjek-objekdunia.
Pemikiranmasihegosentrisdansentrasi.
|
OperasiKonkret
|
7 sampai 11 tahun
|
Perbaikandalamkemampuanuntukberpikirsecaralogis.
Kemampuan-kemampuanbarutermasukpenggunaanoperasi-operasi yang dapatbalik.
Pemikirantidaklagisentrasitetapidesentrasi, danpemecahanmasalahtidakbegitudibatasiolehkeegosentrisan.
|
Operasi Formal
|
11 tahun sampai dewasa
|
Pemikiranabstrakdanmurnisimbolismungkindilakukan.
Masalah-masalahdapatdipecahkanmelaluipenggunaaneksperimentasisistematis.
|
Esensi
dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa harus siswa sendiri yang menemukan
dan mentransformasikan sendiri suatu informasi kompleks apabila mereka
menginginkan informasi itu menjadi miliknya. Konstruktivisme adalah suatu
pendapat yang menyatakan bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses
dimana anak secara aktif membangun sistem arti dan pemahaman terhadap realita
melalui pengalaman dan interaksi mereka. Menurut pandangan konstruktivisme anak
secara aktif membangun pengetahuan dengan cara terus menerus mengasimilasi dan
mengakomodasi informasi baru, dengan kata lain konstruktivisme adalah teori
perkembangan kognitif yang menekankan peran aktif siswa dalam membangun
pemahaman mereka tentang realita. Oleh
karena itu, pendidikan menurut konstruktivisme bisa dikatakan sebagai kegiatan
yang bertujuan untuk pembentukan karakter melalui upaya-upaya pengembangan diri
dari masing-masing individu. Dalam hal ini adalah kemampuan siswa dalam mencari
pengetahuan dan membangun sebuah pengetahuan.
PENUTUP
Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa
pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek,
fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Konstruktivisme bertitik tolak dari
pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah
pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk
sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan
lingkungannya.
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa
pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas dasar struktur kognitif yang
telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar yang menekankan
aktivitas personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar
maka pendidik dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan
kognitif peserta didik. Atas dasar pemahamannya pendidik merancang pengalaman
belajar yang dapat merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir,
berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman yang disajikan tidak
boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi juga jangan sama
seperti yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang
batas antara pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan yang belum
diketahui sebagai zone of proximal development of knowledge.
Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi
menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber
belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai fasiltator yang memfasilitasi
siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Aliran ini
lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar.
Daftar pustaka