PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dalam sejarah
pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik,
sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh
penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya
filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap
dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim
beberapa abad.
Pengaruh ini
terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia
miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius
dalam menemukan metode - metode dan alasan - alasan yang diperlukan untuk
merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme
yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI DAN RIWAYAT HIDUP IBN SINA
Ibnu Sina, nama
asli beliau adalah Abu Ali Hosain ibnu bdullah ibnu Sina. Di Eropa (dunia Barat) ia lebih
dikenal dengan sebutan Avicenna. Ia lahir di sebuah desa Afsyana, di
daerah dekat Bukhara pada tahun 340 H. Bertepatan dengan tahun 980 M. Saat ia
lahir kota kelahirannya sedang dalam keadaan kacau, karena saat itu kekuasaan
Abbasiyah mulai mundur dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah
kekuasaannya kini mulai melepaskan diri untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad
sebagai pusat pemerintahannya dikuasai oleh golongan Banu Buwaih pada tahun 334
H, hingga tahun 447 H.
Menurut sejarah
hidup yang disusun oleh Ibnu Sina, bernama Jurjani, dari sejak kecil Ibnu Sina
telah banyak mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang ada di zamannya. Ilmu-ilmu
itu adalah Ilmu fisika, matematika, kedokteran, hukum dan lain-lain.
Sewaktu Ibnu Sina masih berusia 17 tahun, ia telah dikenal sebagai dokter
dan atas panggilan Istana pernah mengobati Pangeran Nuh Ibnu Mansur sehingga
pulih kembali kesehatannya. Setelah orang tua Ibnu Sina meninggal saat ia
brusia 22 tahun, ia pindah ke Jurjan, suatu kota di dekat Laut Kaspia, dan di
sanalah ia mulai menulis ensiklopedinya tentang ilmu kedokteran yang kemudian
terkenal dengan nama al-Qanun fi al-Tibb (The Qanun). Kemudian ia pindah ke
Ray, suatu kota di sebelah Teheran, dan bekerja untuk Ratu Sayyedah dan anknya
Majd al-Dawlah. Kemudian Sultan Syams al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan (di
bahagian Barat dari Iran) mengangkat Ibnu Sina menjadi Menterinya. Kemudian ia
pindah ke Isfahan dan meninggal di tahun 1037 M, pada usia 58.
Dalam
pendidikannya, Ibnu Sina sangat haus dengan pendidikan, hidupnya selalu
diwarnai dengan belajar, diantara guru yang mendidiknya ialah ’Abu
Abdallah Al-Natali dan Isma’il sang Zahid. Karena kecerdasan otaknya yang
luar biasa ia dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya dengan
sempurna dari sang guru, bahkan melebihi pengetahuan sang guru.
Ibnu Sina juga secara tidak langsung berguru kepada al-Farabi, bahkan dalam
otobiografinya disebutkan tentang utang budinya kepada guru kedua ini. Hal ini
terjadi ketika ia kesulitan untuk memahami Metafisika Aristoteles, sekalipun
telah ia baca sebanyak 40 kali dan hampir hafal diluar kepala. Akhirnya, ia
tertolong berkat bantuan risalah kecil al-Farabi.
Sirajuddin Zar menambahkan, anekdot ini juga dapat diartikan bahwa Ibnu Sina
adalah seorang pewaris Filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan
al-Farabi. Dengan istilah lain, Ibnu Sina adalah pelanjut dan pengembang
filsafat Yunani yang sebelumnya telah dirintis al-Farabi dan dibukakan pintunya
oleh al-Kindi.
Kehebatan Ibnu
sina dalam belajar bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi sistem yang ia miliki menampakkan sebuah keaslian, menunjukkan jenis jiwa
yang genius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan
untuk merumuskan kembali pemikiran rasionalis murni dan tradisi Intelektual
Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
Dapatlah dikemukan bahwa; keaslian yang menyebabkan dirinya disebut unik tidak
hanya terjadi di dalam Islam, tetapi juga terjadi di Abad pertengahan, karena
itu terjadi pula perumusan kembali teologi Katolik Roma yang dilakukan oleh
Albert Yang Agung, terutama oleh Thomas Aquinas yang secara mendasar
terpengaruh oleh Ibnu Sina.
B. PANDANGAN IBN SINA TERHADAP PENDIDIKAN
Dalam pandangan
Ibnu Sina, pendidikan tak hanya memperhatikan aspek moral, namun juga
membentuk individu yang menyeluruh termasuk, jiwa, pikiran dan karakter.
Menurutnya, pendidikan sangat penting diberikan kepada anak-anak untuk
mempersiapkan diri untuk menghadapi masa dewasa.
Ibnu Sina
mengungkapkan, seseorang harus memiliki profesi tertentu dan harus bisa
berkontribusi bagi masyarakat. Ibnu Sina mengungkapkan pendidikan itu harus
diberikan secara berjenjang berdasarkan usia.
Ibnu Sina banyak
memberikan saham dalam meletakkan dasar pendidikan islam, yang amat berharga
sekali dan tidak kecil pengaruhnya terhadap pendidikan islam dewasa ini.
Pandangan Ibnu Sina terhadap pendidikan (sistem) meliputi sebagai berikut:
a.
Pendidikan ketrampilan untuk mepersiapkan anak mencari penghidupannya.
Ibnu Sina mengintegrasinya antara nilai-nilai idealitas dengan pandangan
pragnatis, sebagaimana yang ia katakan:”Jika anak telah selesai belajar
Al-Qur’an dan menghafal dasar-dasar gramatika saat itu amatilah apa yang ia
inginkan mengenai pekerjaannya, maka arahkanlah ia ke jalan itu. Jika ia menginginkan menulis maka hubungkanlah
dengan pelajaran bahasa surat menyurat, bercakap-cakap dengan orang lain serta
berbincang-bincang dengan mereka dan sebagainya kalau problem matematika, maka
caranya harus bersamanya, membimbing dan menuliskannya. Dan jika ia ingin yang
lain, maka bawalah ia kesana.
b.
Bahan bahan kurikulum tingkat awal untuk meningkatkan mutu pendidikan anak.
Pendapat Ibnu Sina tentang masalah ini sangat
terkenal yaitu: “Sebaiknya diawali dengan mengajarkan Al-Qur’anul karim tapi
dengan cara menghindarkan pengajaran yang bersifat memberatkan jasmani dan
pikirannya.
Ibnu Sina menetapkan hal-hal yang telah
diuraikan diatas dengan mengemukakan prinsip-prinsip pendidikan sebagai
berikut:
1.
Jangan memulai pengajaran Al-Qur’an kepada anak melainkan setelah anak tingkat
kematengan akal dan jasmaniah yang memungkinkan dapat menerima apa yang
diinginkan,
2.
Mengintegrasikan antara pengajaran Al-Qur’an dengan huruf hijaiyah, yang
memperkuat pandangan pendidikan modern saat ini yaitu dengan metode campuran
antara metode analitis dan strukturalitis dalam mengajar membaca dan menulis
(merupakan metode paling baru dalam pengajaran bahasa kepada anak saat ini).
Metode seperti telah dilaksanakan ahli fiqh yang mengajar di Al-Kuttab, padahal
mereka tidak pernah mempelajari metode ini dalam pengajaran membaa dan menulis.
Dalam metode ini pula diajarkan cara memahami huruf hijaiyah dengan lisan
maupun tulisan. Pada waktu bersamaan mereka melatih dengan bacaan surat-surat
pendek dan menuliskannya kedalam batu tulis dengan cara mencontoh.
3.
Kemudian anak diajar agama pada waktu tingkat kematangan yang mantab dimana
menurut adat kebiasaan hidup keagamaan yang benar telah terbuka lebar sampai
dapat menyerap kedalam jiwanya dan mempengaruhi daya indrawi reta perasaannya.
Oleh karena pada umumnya masa kanak-kanak mendapatkan pengalaman dan pergaulan
dengan ayah, ibu, guru, dan lai-lainnya sesuai adat kebiasaan mereka. Dalam pergaulan itu mereka menjadi contoh
tauladan tauladan yang baik sehingga ia berakhlak mulia.
4.
Ibnu Sina juga memandangan penting pelajaran syair sehingga syair itu
menjadi sarana pendidikan perasaan. Pelajaran ini dimulai dengan mengajarkan
syair-syair yang menceritakan anak-anak yang glomour, sebab lebih mudah dihafal
dan menceritakannya serta bait-baitnya lebih pendek-pendek dan ingatannya lebih
gampang diucapkan.
Disamping itu dilihat dri aspek lainnya, syair
dipandang sebagai kumpulan pantun arab yang berisi kebanggaan dan ungkapan pikiran
bangsa arab. Ibnu Sina memilih syair-syair tertentu untuk anak-anak dilihat
dari segi isi yang terkandung di dalamnya, sehingga mereka tidak belajar
kecuali tentang keutamaan sastra dan kebudayaan, pujian kepada ilmu dan
celaan kepada kebodohan serta segala hal yang mendorong berbuat kebaikan kepada
kedua orang tuanya, berbuat ma’ruf (kebajikan) dan menghormati tamu. Ibnu Sina
menolak semboyan yang menyatakan bahwa “seni adalah untuk seni”, ia berpendapat
bahwa seni dalam syair merupakan sarana pendidikan akhlak. Dengan demikian,
maka seni atau sastra bertujuan untuk mengungkapkan perasaan manusia dalam
berbagai coraknya.
Pengajaran yang diarahkan pada penulisan minat
dan bakat pada masing-masing anak didik, sehingga mereka mampu menciptakan
kreativitas belajar secara lebih mantab. Hal ini sesuai dengan yang dianjurkan
oleh kurikulum modern saat ini. Anak harus diajar tentang pengetahuan umum yang
bersifat dharuriyah, sehinggah terbukalah bakat dan kemampuannya yang pada saat
ini memungkinkan anak dapat mengenal kecenderungan. Atas dasar kemampuan dan
bakat inilah guru memilih pelajaran yang sesuai dengan tuntunan perkembangan
hidupnya yang harmonis dan bermanfaat bagi dirinya serta lingkungan
sekolah.
C. KONSEP PENDIDIKAN IBN SINA
Ilmu pendidikan
merupakan ilmu yang berada pada garis terdepan dalam menyiapkan kader-kader
yang siap untuk melaksanakan tugas-tugas agama, nusa dan bangsa. Sehingga
pendidikan sangatlah penting bagi kehidupan kita, karena dengan pendidikan kita
akan mendapat wawasan dan pengalaman banyak dan mengembangkan potensi
yang kita miliki dan menjadi insan kamil penerus bangsa untuk menuju kedepan
yang lebih cerah.
Banyak para ilmuan
mengungkapkan pendapat tentang konsep pendidikan yang baik, dan esuai dengan
potensi yang dimiliki seseorang. Namun untuk membatasi pembahasan tentang
konsep pendidikan menurut banyak ilmuwan kali ini kami akan menjelaskan konsep
pendidikan yang di kembangkan oleh Ibnu Sina:
1.
Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada
pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya
yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti.
Selain itu juga harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat
hidup dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian
yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang dimilikinya.
Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan
adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa’adat). Kebahagiaan dicapai secara
bertingkat sesuai dengan tingkat pendidikan yang dikemukakannya sebelumnya
yaitu: kebahagian pribadi, kebahagian rumah tangga, kebahagian masyarakat dan
kebahagian manusia secara menyeluruh dan pada akhirnya adalah kebahagian
manusia di akhirat kelak. Jika setiap individu anggota keluarga memiliki akhlak
mulia, maka akan tercipta kebahagian dirumah tangga. Selanjutnya jika rumah
tangga memiliki akhlak mulia, maka akan tercipta kebahagian masyarakat dan
selanjutnya kebahagiaan manusia seluruhnya. Selain itu tujuan pendidikan yang
dikemukakan Ibnu Sina tersebut tampak didasarkan pada pandangannya tentang
Insan Kamil (manusia yang sempurna), yaitu manusia yang terbina seluruh
potensi dirinya secara seimbang dan menyeluruh. Selain harus mengembangkan
potensi dan bakat dirinya secara optimal dan menyeluruh, juga harus mampu
menolong manusia agar eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah
di masyarakat. Dan tidak hanya intelektual dan budi pekerti saja yang
dikembangkan melainkan dengan kekuatan fisik yang menjadi pondasi dalam
pengembangan potensi yang dimiliki seseorang. Kekuatan fisik diperoleh dari
olahraga yang teratur dan makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan badan dan
lingkungan. Melalui pendidikan jasmani olahraga, seorang anak diarahkan agar
terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan
budi pekerti di harapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam
pergaulan hidup sehari-hari. Dan dengan pendidikan kesenian seorang anak
diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya hayal dan
kreatifitasnya tidak terbatas dan bias terus berkembang sesuai dengan ide
- ide dan kemampuan yang dimilikinya.
Beberapa tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina
yaitu:
a.
Diarahkan kepada pengembangan seluruh potensi
yang dimiliki seseorang menuju perkembangan yang sempurna baik perkembangan
fisik, intelektual maupun budi pekerti.
b.
Diarahkan pada upaya dalam rangka mempersiapkan
seseorang agar dapat hidup bersama-sama di masyarakat dengan melakukan
pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya disesuaikan dengan bakat, kesiapan,
kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.
Sedangkan tujuan pendidikan yang bersifat jasmani
yang tidak boleh ditinggalkan yaitu pembinaan fisik dan segala sesuatu yang
berkaitan dengannya seperti olah raga, tidur, maka, minum, dan menjaga
kebersihan. Dengan pendidikan jasmani diharapkan terbinanya pertumbuhan fisik
siswa anak yang cerdas otaknya. Melalui pendidikan budi pekerti anak diharapkan
membiasakan diri berlaku sopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Adapun
pendidikan kesenian diharapkan seorang anak dapat mempertajam perasaannya dan
meningkatkan daya khayalnya.
Kemudian Ibnu Sina mengemukakan tujuan pendidikan
yang bersifat keterampilan, yang artinya mencetak tenaga pekerja yang
profesional. Dari
beberapa tujuan pendidikan tersebut di atas, kalau dihubungkan antara yang satu
dengan yang lainnya menunjukkan bahwa Ibn Sina memiliki pola pemikiran tentang
tujuan pendidikan yang bersifat hirarkis-struktural. Maksudnya tujuan
pendidikan yang bersifat universal juga bersifat kurikuler (perbidang studi)
dan bersifat operasional. Pandangan tentang insan kamil yaitu manusia yang
terbina seluruh potensinya secara seimbang dan menyeluruh.
Faktor yang mempengarui terhadap tujuan pendidikan
pada bidang keahliannya adalah situasi masyarakat yang sudah maju dan
terspesialisasi dan pandangan filsafat.
2.
Kurikulum
Secara sederhana istilah kurikulum digunakan untuk menunjukkan sejumlah
mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai satu gelar atau ijazah atau
suatu perangkat pembelajaran yang berisi sejumlah materi yang harus diberikan
kepada anak didik. Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow dan Crow yang mengatakan bahwa
kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isisnya sejumlah mata pelajaran yang
disusun secara sistematik yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan
suatu program pendidikan tertentu.
Kurikulum disini berfungsi sebagai alat
mempertemukan kedua pihak antara pendidik dan anak didik. Sehingga anak didik
dapat mewujudkan bakatnya secara optimal dengan belajar menyumbangkan jasanya
untuk meningkatkan mutu kehidupan dalam masyarakatnya.
Dengan demikian Ibnu Sina menyimpulkan bahwa kurikulum yang diberikan
kepada anak didik ada tingkatannya masing – masing sehingga materi yang akan
disampaikan akan berbeda sesuai dengan umur dan kemampuan anak didik.
Abudin
Nata menyimpulkan konsep Ibnu Sina tentang kurikulum didasarkan pada
tingkat perkembangan usia anak didik.
a. Usia anak 3 sampai 5 tahun, Menurut Ibnu
Sina, pada usia ini anak didik perlu diberi mata pelajaran olah raga, budi pekerti, kebersihan,
seni suara, dan kesenian.
Masing-masing materi ini memiliki tujuan dan cara pengembangannya dapat dilakukan sebagai berikut: Pelajaran olah raga harus disesuaikan dengan
tingkat perkembangan usia anak
didik serta bakat yang dimilikinya. Dengan cara demikian dapat diketahui dengan
pasti mana saja di antara anak didik yang perlu diberi pendidikan olah raga
sekedarnya saja, dan mana saja di antara anak didik yang perlu dilatih
berolahraga lebih banyak lagi. Pelajaran olah raga atau gerak badan tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan
pertumbuhan fisik anak dan fungsi
organ tubuh secara optimal. Hal ini penting mengingat fisik adalah tempat bagi
jiwa yang harus dirawat agar tetap sehat dan kuat. Adapun pelajaran akhlak/budi pekerti diarahkan
untuk membekali anak agar
memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Pelajaran budi pekerti ini
sangat dibutuhkan dalam rangka membina kepribadian anak sehingga jiwanya
menjadi suci dan terhindar dari perbuatan-perbuatan buruk yang dapat
mengakibatkan jiwanya rusak dan sulit diperbaiki kelak pada usia dewasa. Dengan
demikian, Ibnu Sina memandang pelajaran akhlak sangat
penting ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Sedangkan pelajaran pendidikan kebersihan juga
mendapat perhatian Ibnu
Sina. Pendidikan ini diarahkan agar anak memiliki kebiasaan mencintai kebersihan yang juga
menjadi salah satu ajaran mulia
dalam Islam. Untuk pendidikan seni suara dan kesenian diperlukan agar anak memiliki
ketajaman perasaan dalam mencintai
serta meningkatkan daya khayalnya. Jiwa seni perlu dimiliki sebagai salah satu upaya untuk
memperhalus budi yang pada
gilirannya akan melahirkan akhlak yang senang keindahan. Dari keempat pelajaran yang perlu diberikan
kepada anak pada usia 3–5
tahun, menunjukkan bahwa Ibnu Sina telah memandang penting pendidikan pada usia dini.
b. Usia 6
sampai 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan
menghafal al-qur’an, pelajaran agama, pelajaran sya’ir dan pelajaran olah raga.
Pelajaran membaca dan menghafal menurut Ibnu Sina berguna di samping untuk
mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-qur’an, juga
untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama islam dan pelajaran agama
lainnya yang sumber utamanya Al-qur’an. Selain itu pelajara membaca dan
menghafal Al-Qur’an juga mendukung keberhasilan dalam mempelajari bahasa arab,
karena dengan menguasai Al-Qur’an berarti ia telah menguasai kosa kata bahasa
arab atau bahasa Al-qur’an.dengan demikian penetapan pelajaran membaca
Al-qur’an tampak bersifat strategis dan mendasar, baik dilihat dari segi
pembinaan sebagai pribadi muslim, maupun dari segi pembentukan ilmuwan muslim,
sebagaimana yang diperlihatkan Ibnu Sina sendiri. Sudah menjadi alat kebiasaan umat islam
mendahulukan pelajaran Al-Qur’an dari yang lain-lain.
c. Pada usia 14 tahun ke atas, Ibnu Sina
memandang mata pelajaran yang harus
diberikan kepada anak berbeda dengan usia sebelumnya.
Mata pelajaran yang dapat diberikan kepada anak usia 14 tahun ke atas, sangat banyak
jumlahnya. Namun pelajaran tersebut perlu
dipilih sesuai dengan bakat dan minat anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan
kesiapan anak didik. Dengan
cara demikian, anak akan memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibnu
Sina menganjurkan kepada para
pendidik agar memilih jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan
lebih lanjut oleh anak
didiknya. Jadi, pada usia ini, anak didik diarahkan untuk menguasai suatu bidang ilmu tertentu
(spesialisasi bidang keilmuan). Di antara mata
pelajaran tersebut dapat dibagi ke dalam mata pelajaran yang bersifat teoritis dan praktis.
Tampaknya pembagian ini
dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles yang juga membagi ilmu secara teoritis dan praktis. Akan tetapi,
Ibnu Sina banyak menambahkan
ilmu-ilmu lain ke dalam kelompok ilmu yang bersifat teoritis dan praktis yang berdasarkan kepada
ajaran Islam. Adapun
ilmu-ilmu pada masing-masing kelompok tersebut adalah:
1) Ilmu yang bersifat teoritis meliputi:
a) ilmu tabi'i, (mencakup ilmu kedokteran, astrologi, ilmu firasat, ilmu
sihir (tilsam), ilmu tafsir mimpi, ilmu niranjiyat, dan ilmu kimia;), b) ilmu
matematika;c) ilmu ketuhanan, disebutnya ilmu paling tinggi (mencakup ilmu
tentang cara-cara turunnya wahyu, hakikat jiwa pembawa wahyu, mu'jizat, berita
ghaib, ilham, dan ilmu tentang kekekalan ruh, dan sebagainya).
2) Ilmu yang bersifat praktis, meliputi:
a) ilmu akhlak; b) ilmu pengurusan
rumah tangga, c) ilmu politik, terutama dalam kehidupan bermasyarakat yang menginginkan tegaknya
keadilan dengan
menetapkan undang-undang dan syariat. Dari uraian
pemikiran Ibnu Sina tentang kurikulum di atas, dapat dipahami bahwa konsep kurikulum yang
ditawarkannya memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
Pertama, dalam
penyusunan kurikulum hendaklah mempertimbangkan aspek psikologis anak. Oleh karena
itu, mengenal psikologi anak sangat penting dilakukan yang dalam kajian pendidikan modern mencakup tugas perkembangan pada
setiap fase perkembangan, mengenal bakat minat, serta persoalan-persoalan yang dihadapi
masing - masing tingkat perkembangan. Dengan
begitu maka mata pelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan akan mudah dikuasai oleh anak didik.
Kedua, kurikulum yang
diterapkan harus mampu mengembangkan potenanak secara optimal dan harus seimbang antara jasmani,
intelektual, dan akhlaknya. Namun masing-masing unsur tersebut mendapat penekanan lebih pada masing-masing
tingkat usia. Pada usia dini, pendidikan akhlak harus lebih ditekankan. Pada usia remaja
diseimbangkan antara afektif, psikomotorik dan kognitif. Sedangkan pada usia 14 tahun ke atas
ditekankan pada pendalaman materi sesuai dengan keahlian dan kesenangan anak.
Ketiga, kurikulum yang
ditawarkan Ibnu Sina bersifat pragmatisfungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan
dari ilmu dan kete rampilan yang dipelajari sesuai dengan tuntutan masyarakat,
atau berorientasi
pasar (marketing oriented). Dengan cara demikian, setiap lulusan pendidikan akan siap
difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada di masyarakat.
Keempat, kurikulum yang
disusun harus berlandaskan kepada ajaran dasar dalam Islam, yaitu al-Qur'an dan Sunnah sehingga anak didik akan memiliki iman, ilmu, dan amal
secara integral. Hal ini dapat dilihat dari pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an yang
ditawarkan oleh Ibnu Sina sejak usia kanak-kanak.
Kelima, kurikulum yang
ditawarkan adalah kurikulum berbasis akhlak dan bercorak integralistik. Pentingnya pendidikan
seni dan syair merupakan bukti bahwa Ibnu Sina memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan akhlak.
Sedangkan perhatian Ibnu Sina terhadap pendidikan al-Qur'an sejak dini membuktikan ia memahami bahwa semua ilmu berasal dari Allah
dan harus terintegrasi antara iman, ilmu, dan amal.
D. Metode Pengajaran IBN SINA
Menurut Ibnu Sina ada
beberapa metode pengajarannya yaitu:
1.
Metode Talqin
yaitu
metode mengajarkan membaca Al-Qur'an dengan cara memperdengarkan bacaan
Al-Qur'an sebagian demi sebagian, dan menyruh anak untuk mengulangi bacaan
dengan perlahan-lahan hingga hafal. Metode ini melibatkan guru dan murid dimana
murid diperintah untuk membimbing teman-temannya yang masih tertinggal, istilah
sekarang adalah tutor sebaya.
2.
Metode
Demonstrasi
Yaitu
metode cara mengajar meulis dengan mencontoh tulisan huruf hijaiyah di depan
murid, kemudian guru menyuruh murid untuk mendengarkannya yang dilanjutkan
dengan mendemonstrasikan cara menulis.
3.
Metode Pembiasaan dan Teladan
Adalah
metode pengajaran yang sangat efektif, khususnya mengajarkan akhlak dengan cara
pembiasaan dan teladan yang disesuaikan dengan psikologis anak.
4.
Metode Diskusi
Adalah
metode cara penyajian pelajaran dimana siswa diberi pertanyaan yang bersifat
problematis untuk dipecahkan bersama. Diharapkan dengan metode ini mendapatkan
pengetahuan yang bersifat rasional dan terotis, sehingga tidak hanya
mengajarkan metode ceramah saja yang akibatnya para siswa akan tertinggal jauh dari
perkembangan ilmu pengetahuan.
5.
Metode Magang
Adalah
metode yang menggabungkan antara teori dan praktek yang nantinya akan
menimbulkan manfaat ganda yaitu disamping para siswa mahir dalam suatu bidang
ilmu tertentu, juga akan mendatangkan keahlian dalam bekerja atau memiliki
kemampuan (skill).
6.
Metode Penugasan
Adalah
metode cara penyajian bahan pelajaran dimana guru memberikan tugas ajar. Siswa
dapat melakukan kegiatan belajar, sehingga siswa diharapkan dapat memecahkan
problem setelah guru menerangkan terlebih dahulu, dalam hal ini sejauh mana
siswa dapat memahami materi pelajaran yang telah diajarkan oleh guru.
Dalam metode diatas Ibnu Sina memiliki empat ciri penting sebagai berikut:
a. Memperlihatkan
adanya keinginan besar dari Ibn Sina terhadap kesuksesan pengajaran.
b. Adanya
kesesuaian antara bidang studi dan tingkat usia anak didik.
c. Lebih
memperhatikan pada bakat dan minat anak didik.
d. Tingkat
pengajaran yang menyeluruh mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi.
E. kontribusinya terhadap pendidikan Nasional
Dari beberapa pemikiran Ibnu Sina banyak yang
sangat berkaitan sekali dengan pendidikan Nasional dan mampu menjawab persoalan
– persoalan pendidikan yang sesuai dengan tantangan zaman.
Pendidikan akhlak sangatlah menjadi prioritas dalam pendidikan Islam,
seperti yang di jelaskan dalam pemikiran Ibnu sina akhlak adalah menjadi hal
yang sangat pokok karena akhlak mulia menjadi salah satu indicator penting
perumusan tujuan system pendidikan Nasioal (pasal 3 UU Sisdiknas Tahun
2003).
Mekipun Ibnu Sina lebih terkenal dengan seorang ilmuwan yang ahli dalam
bidang kedokteran namun beliau juga mampu memahami Al-Qur’an sejak usia dini,
jadi. Pendidikan Al-Qur’an juga sangatlah penting utuk
diterapkan dalam sekolah-sekolah. Namun kenyataannya di Indonesia sendiri masih
banyak sekolah yang belum mampu untuk mengintegrasikannya dalam pendidikan
sekolah, sehingga perlu adanya pembelajaran integrasi antara Al-Qur’an dan Ilmu
– ilmu lainnya, dengan harapan agar muncul bibit – bibit penerus bangsa yang
seperti Ibnu Sina sebagai “ulama’ yang ilmuwan dan ilmuwan yang Ulama’”.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, paradigma
semacam ini harus terbangun. Adanya istilah "pendidikan umum" dan
"pendidikan agama" yang biasa dikenal di negeri ini kerap kali
menimbulkan paradigma dikotomik yang mempertentangkan antara satu ilmu dengan
yang lain. Paradigma semacam ini menimbulkan beberapa persoalan, seperti: ilmu
yang dimiliki tidak mengantarkan seseorang untuk dekat dengan Allah, sikap
beragama hanya urusan privasi seseorang, pembinaan akhlak hanya tugas guru
agama yang banyak berbicara tentang nilai, kecenderungan hidup
pragmatis-materialistik lebih menguat, dan sebagainya. Oleh karena itu,
pemikiran Ibn Sina paradigma ini patut diaktualisasikan dalam mewujudkan sumber
daya manusia indonesia yang berkualitas: beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia
serta cerdas dalam menyelesaikan berbagai persoalan sehingga menemukan
kebahagiaan hakiki.
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan Islam, suatu Kajian Filsafat Pendidikan