Al-Ghozali - Pemikiran tentang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Kemunculan
dan perkembangan Islam tentu membawa ke arah perubahan, juga tak lepas dari
peran para tokoh Islam. Namun bersamaan dengan perputaran dunia, modernisasi
dan pengembangan ilmu pengetahuan dari hari ke hari yang yang semakin
berkembang, malah akhir-akhir ini membuat banyak generasi muda tidak mengenal
para tokoh Islam yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan dunia pendidikan
tersebut, salah satunya Al-Ghazali.
Al-Ghazali
merupakan salah satu tokoh muslim yang pemikirannya sangat luas dan mendalam
dalam berbagai hal diantaranya dalam masalah pendidikan. Teori pendidikan yang
dimiliki beliau yakni penyatu-paduan kepentingan jasmani, akal dan rohani,
ilmiah dan agama. Namun sayangnya, berbagai pandangan dari teori-teori
pendidikan Al-Ghazali yang luas itu tidak terhimpun dalam suatu karya/kitab,
tetapi tersebar dalam berbagai kitanya yang membahas banyak bidang bahasan.
Hampir setiap kitab yang dihasilkannya tidak ada yang di spesifikasikan untuk
pembahasan pendidikan, namun hampir di setiap produk karyanya selalu menyentuh
aspek pendidikan.
Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai tiga pokok persoalan yang erat kaitannya akan
teori-teori pendidikan Al-Ghazali dan pendidikan yang sedang berkembang saat
ini.
A.
Biografi Al-Ghazali
Nama lengkap beliau ialah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, mendapat
gelar Imam Besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul Islam yang dilahirkan pada tahun
450 H/1058 M, di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota di
Khurasan, Persia.
Penting untuk dicermati bahwa kadang-kadang nama Al-Ghazali ditulis dan
dibaca dengan dua huruf “z” atau dengan satu huruf “z”. Al-Ghazali dengan dua
huruf “z” diambil dari kata “Ghazzal” artinya tukang pemintal benang wol.
Adapun Al-Ghazali dengan satu huruf “z” diambil dari kata “Ghaazalah”, sebuah
nama kampung kelahiran Al-Ghazali.
Dalam sebuah karyanya ia mengisahkan: kehausan untuk mencari hakikat
kebenaran sesuatu sebagai habit dan favorit saya sejak kecil dan masa
mudaku adalah merupakan insting dan bakat yang dicampakkan Allah SWT. Pada
temperamen saya, bukan merupakan usaha dan rekaan saja.
Kemudian pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi Guru Besar di
Unicersitas Nidhamiyah Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu ia laksanakan
dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad selain mengajar, juga mengadakan
bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan batiniyah, ismailiyah,
filsafat, dan lainnya.
Sebenarnya Al-Ghazali telah menelan seluruh paham, aliran dan ajaran-ajaran
firqah, thaifah dan filsafat. Kesemuanya itu menimbulkan pergolakan dan otaknya
sendiri, karena tidak ada yang memberikan kepuasan batinnya, sehingga ia ragu
kepada kesanggupan akal untuk mendekatkan diri kepada Allah, apalagi utuk
mengetahuinya.
Yang menarik perhatian dalam sejarah hidup Al-Ghazali adalah kedahagaan
terhadap segala pengethuan serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan
mencai hakikat kebenaran segala sesuatu yang tidak pernah puas. Pengalaman
pengembaraan intelektual dan spiritualnya berpindah-pindah dari ilmu Kalam ke
Filsafat, kemudian ke dunia batiniyah dan akhirnya membawanya kepada Tasawuf.
Inilah sebabnya untuk memahami kejelasan pola pemikiran dan corak hidupnya,
sering mengalami kesulitan.
B.
Pemikiran Al-Ghazali Tentang Ilmu Pengetahuan
Al-ghazali adalah seorang figur ideal yang memiliki pemikiran luas dan
cukup orisinal sehingga ia menempati sebagai salah seorang pemikir diantara
sederetan pemikir-pemikir yang paling berpengaruh di sepanjang zaman. Bahkan
dapat dikatakan bahwa hasil-hasil karyanya menjadi sumber pokok bagi penyebaran
kebudayaan Islam di negeri-negeri Barat pada zaman pertengahan. Hal ini wajar
oleh karena Al-Ghazali dan karya-karyanya memiliki pemikiran yang luas,
pembahasan yang mendalam, dan pengkajian yang terinci mengenai konsep ilmu
pengetahuan yang bersumber dari Al-Qur’an, Al-Hadits, perkataan sahabat,
ataupun Tabi’in, yang menjadi ciri pemikirannya.
1.
Kemuliaan
Ilmu Pengetahuan, Menuntut Ilmu dan Mengajar.
Wujud ini adalah
suatu kesatuan yang utuh, selaras bentuk dan sistemnya, disiapkan, sesuai dan
membantu wujud kehidupan secara umum dan wujud manusia khususnya. Wujud ini
bukanlah musuh kehidupan dan manusia. Manusia adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari alam jagat ini, yang harus dikaji, dipahami dan dikenal
rahasianya.
Cara manusia
mengkaji, memahami dan memikul tanggung jawab alam jagat ini adalah dengan ilmu
(pengetahuan) yaitu, yang memungkinkan ia menunaikan risalahNya dalam kehidupan
dan menyebarkan kebenaran, keadilan dan kebaikan. Ini tidak berlaku kalau tidak
ada hubungan baik antara dia dengan alam jagat dimana dia hidup memahami
rahasianya, mengeksploitasikan ptensi-potensinya dan menggunakan perbendaharaan
serta hasil-hasil yang disimpan Allah di situ.
Adalah salah jika
kita berpendapat bahwa terdapat permusuhan kekal antara ilmu dan agama. Dan
permusushan kekal ini memberi bekas terhadap pandangan kepada alam jagat dan
hubungan dengannya. Islam tidaklah memusuhi ilmu dan tidak membenci para pakar
ilu (ilmuwan), malah dijadikannya ilmu yang membawa kepada mengenal Allah.
Demikian yang diyakini oleh Al-Ghazali. Dan, menurut Al-Ghazali, sebenarnya
semua ilmu yang betul membawa kepada tujuan itu, sebagai kewajiban suci yang
termasuk dalam kewajiban-kewajiban agama.
a.
Kemuliaan
ilmu pengetahuan
Sumberdari Al-Qur’an ialah:
yÎgx©ª!$#¼çm¯Rr&Iwtm»s9Î)wÎ)uqèdèps3Í´¯»n=yJø9$#ur(#qä9'ré&urÉOù=Ïèø9$#$JJͬ!$s%ÅÝó¡É)ø9$$Î/4Iwtm»s9Î)wÎ)uqèdâÍyêø9$#ÞOÅ6yÛø9$#ÇÊÑÈ
Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak
ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para
Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak
ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”(QS. Al-‘Imran; 18)
Dalam hal ini
Al-Ghazali menyatakan: “maka pikirkanlah bagaimana Allah SWT. Mula-mula
menyebut diriNya sendiri, kedua, Dia menyebut Malaikat dan ketiga, Dia menyebut
ahli ilmu. Maka cukuplah kiranya dengan ini, suatu pertanda kemuliaan, keutamaan,
kejelasan dan teringgian orang yang berilmu.
b.
Kemuliaan
menurut ilmu pengetahuan
Sumber dari Al-Qur’an ialah:
4...wöqn=sùtxÿtR`ÏBÈe@ä.7ps%öÏùöNåk÷]ÏiB×pxÿͬ!$sÛ(#qßg¤)xÿtGuÏj9ÎûÇ`Ïe$!$#(#râÉYãÏ9uróOßgtBöqs%#sÎ)(#þqãèy_uöNÍkös9Î)óOßg¯=yès9crâxøtsÇÊËËÈ
Artinya: “...Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”(QS. At-Taubah; 122)
Ayat tersebut mendorong setiap individu maupun
kelompok untuk belajar, menuntut ilmu dan memperdalam ilmu pengetahuan dalam
rangka meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan, seperti komentar Al-Ghazali pada
ayat tersebut, yaitu: “rupanya mereka tidak mengetahui bahwa fiqih itu adalah
penguasaan paham tentang Allah dan ma’rifat terhadap sifat-sifatNya, sehingga
dapat mengingatkan dan menjaga dirinya, dimana hatinya kemudian merasa takut
dan memenuhi ketentuan takwa yang sebenarnya.”
c.
Kemuliaan mengajar
Sumber dari Al-Qur’an adalah:
(#râÉYãÏ9ur...óOßgtBöqs%#sÎ)(#þqãèy_uöNÍkös9Î)óOßg¯=yès9crâxøts
Artinya: “...untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.” (QS. At-Taubah;122)
2. Pandangan Al-Ghazali Tentang Ilmu
Pengetahuan
Al-Ghazali telah
menetapkan definisi tentang apa yang disebut pengetahuan yang pasti, ia
menyebutkan: “Akhirnya nyatalah kepadaku bahwa arti ilmu atau tahu yang sesungguhnya
itu adalah tersingkapnya sesuatu dengan jelas sehingga tak ada lagi ruang untuk
ragu-ragu, tak mungkin salah atau keliru, tak ada di hati tempat untuk itu.
Keamanan dari bahaya salah atau keliru itu harus diperkuat dengan keyakinan
sedemikian rupa sehingga andaikata disangkal oleh seseorang yang sakti, yang
misalnya dapat mengubah batu menjadi emas atau mengubah tongkat menjadi ular,
namun demikian itu tak akan menimbulkan ragu-ragu sedikitpun juga terhadap
keyakinan tersebut”.
Dengan demikian, ilmu
atau pengetahuan menurut Al-Ghazali tidak hanya menjauhkan dari segala
keraguan, tetapi juga menghidari dari segala kemungkinan untuk salah dan sesat.
Dalam mencari kebenaran kepada obyek, sehingga timbul keyakinan bahwa hasil
penelitian itu benar. Jadi tingkat keyakinan inilah tingkat kebenarannya. Atau
dengan kata lain, bahwa pandangan Al-Ghazali mengenai ilmu pengetahuan adalah
mengalami proses yang panjang dalam rangka mencapai ilmu pengetahuan yang
hakiki.
C.
Pemikiran Al-Ghazali Tentang Faktor-Faktor Pendidikan
Tujuan dari pada pendidikan ialah
sebagai berikut:
1. Mendekatkan diri kepada Allah
yang wujudnya adalah kemampuan dan dengan kesadaran diri melaksanakan ibadah
wajib dan sunnah
2. Menggali dan mengembangkan
potensi atau fitrah manusia
3. Mewujudkan profesionalisasi
manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya
4. Membentuk manusia yang berakhlak
mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela
5. Mengembangkan sifat-sifat manusia
yang utama sehingga menjadi manusia yang manusiawi
Kalau kita perhatikan unsur-unsur
dalam rumusan di atas, itulah yang akan membentuk manusia shalih. Yang disebut
orang shalih ialah manusia yang mempunyai kemampuan melaksanakan
kewajiban-kewajiban kepada Allah dan kewajiban-kewajibannya kepada manusia
sebagai hamba-Nya. Dari sisni dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan menurut
Al-Ghazali ialah membentuk manusia shalih.
Al-Ghazali menjelaskan tentang faktor-faktor pendidikan yang meliputi:
1.
Faktor tujuan pendidikan
a. Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan
semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu saja.
Penelitian,
penalaran dan pengkajian yang mendalam dengan mencurahkan tenaga dan pikiran
adalah mengandung kelezatan intelektual dan spiritual yang akan menumbuhkan roh
ilmiah, kepada mereka dalam mencari hakikat ilmu pengetahuan. Demikian
Al-Ghazali sangat menganjurkan kepada para pelajar agar menjadi orang yang
cerdas, pandai perpikir, mengadakan penelitian yang mendalam dan dapat
menggunakan akal pikirannya dengan baik dan optimal, untuk menguasai ilmu
pengetahuan dengan sesungguhnya dan mengerti maksudnya.
b. Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan
akhlak.
Al-Ghazali
mengatakan: “Tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa
sekarang, adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya”. Dan pendapat Al-Ghazali
ini di dukung oleh Prof. Dr. M. Athiyah
Al-Abrasyi: “Pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam
(pendidikan yang dikembangkan oleh kaum muslimin), dan Islam telah menyimpulkan
bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai
suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan”.
Dari pernyataan di
atas, jelaslah bahwa Al-Ghazali menghendaki keluhuran rohani, keutamaan jiwa,
kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat, merupakan tujuan utama dari
pendidikan bagi kalangan manusia muslim, karena akhlak adalah aspek fundamental
dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun suatu negara.
Jadi, antara ilmu
dan amal harus seimbang dan saling melengkapi, searah dan setujuan maksudnya
atau dengan kata lain, ilmu haruslah alamiah dan amal haruslah ilmiah, sehingga
dapat tercapai keharmonisan antara ilmu dan amal perbuatan.
c. Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat
Memperhatikan
kehidupan dunia dan akhirat sekaligus, sehingga tercipta kebahagiaan bersama di
dunia dan akhirat. Jadi menurut Al-Ghazali, tujuan pendidikan tidak
memperhatikan kehidupan dunia semata-mata atau kehidupan akhirat semata-mata,
akan tetapi beliau menganjurkan untuk merusaha dan bekerja bagi keduanya, tanpa
meremehkan salah satunya. Jadi ruang lingkup pendidikan yang diharapkan bagi
masyarakat muslim khususnya, tidak sempit dan tidak terbatas bagi kehidupan
dunia atau kehidupan akhirat saja, akan tetapi harus mencakup keduanya.
2.
Faktor pendidik
a.
Profesi
pendidik/pengajar menurut Al-Ghazali
Mengajar dan
mendidik adalah sangat mulia karena secara naluri orang yang berilmu itu
dimuliakan dan dihormati oleh orang. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah
mulia, maka mengajarkannya adalah memberikan kemuliaan.
Akan tetapi,
posisi pengajar dalam masyarakat modern dewasa ini, leibh sering hanya di
pandang sebagai petugas semata yang mendapat gaji dari negara atau
instansi/organisasi swasta dan tanggung jawabnya tertentu, serta tugasnya
relatif dilimitasi dengan dinding sekolah, jangan melangkah lebih jauh dari
tugas dan tanggung jawab (formal)nya. Hal tersebut dimungkinkan karena dampak
dari komersialisme materialisme dan modernisasi, sehingga tercipta adanya jarak
(sosiopsikis) antara pengajar dan pelajar.
Dalam
kitab “Ihya ‘Ulumuddin” beliau mengatakan : “apabila ilmu pengetahuan itu lebih
utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia
itu, maka mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi keutamaan itu”.
Berdasarkan hal tersebut, maka orang yang mengajarkan ilmu menduduki posisi
atau status terhormat dan mulia. Dia menjadi figure teladan yang akan ditiru,
dan dalam memperlakukan anak didiknya diharapkan tidak seperti binatang (domba
atau ternak lainnya) yang perlu digembala atau di disiplinkan. Itulah sebabnya
seorang pengajar tidak cukup hanya mengandalkan kepandaian atau memiliki
otoritas disiplin ilmu tertentu saja. Pendidik harus orang yang berbudi dan
beriman, sekaligus beramal saleh, yang perbuatannya itu dapat memberikan
pengaruh jiwa terhadap anak didiknya.
b.
Gaji
pengajar menurut Al-Ghazali
Gaji bagi pengajar
menurut Al-Ghazali hukumnya haram. Suatu ketika beliau mengatakan: “Lihatlah
kesudahan agama di tangan orang-orang yang mengatakan bahwa mereka bermaksud mendekatkan
diri kepada Tuhan (Allah) oleh sebab mereka memiliki ilmu fiqh dan kalam serta
mengajarkan dua ilmu itu dan lain-lainnya lagi. Mereka menghabiskan harta dan
pangkat serta menanggung kehinaan untuk melayani Sultan-sultan untuk mencari
pembagian makanan. Alangkah hinanya seorang alim yang rela menerima kedudukan
seperti ini”.
c.
Persyaratan
kepribadian pendidik menurut Al-Ghazali
Dalam
“Ihya Ulumuddin”, beliau melukiskan betapa penting kepribadian bagi seorang
pendidik : “Seorang guru mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan
membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata
hati, sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang
mempunyai mata kepala adalah lebih banyak”. Pernyataan Al-Ghazali tersebut
memberi indikasi bahwa amal perbuatan, perilaku, akhlak dan kepribadian seorang
pendidik adalah lebih penting daripada ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Kemudian Al-Ghazali mengemukakan
syarat-syarat kepribadian seorang pendidik sebagai berikut:
1)
Sabar
menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik.
2)
Senantiasa
bersifat kasih dan tidak pilih kasih.
3)
Jika
duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya atau pamer.
4)
Tidak
takabbur, kecuali terhadap orang yang zalim, dengan maksud mencegah dari
tindakannya.
5)
Bersikap
tawadu’ dalam pertemuan-pertemuan.
6)
Sikap
dan pembicaraannya tidak main-main.
7)
Menanamkan
sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid-muridnya.
8)
Menyantuni
serta tidak membentak-bentak orang-orang bodoh.
9)
Membimbing
dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya.
10)
Berani
berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah yang tidak di mengerti.
11)
Menampilkan
hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam hak yang salah, bersedia ruju’
kepada kebenaran.
d.
Tugas
dan kewajiban pendidik menurut Al-Ghazali
1)
Mengikuti
jejak Rasulullah dalam tugas dan kewajibannya.
2)
Memberikan
kasih sayang kepada anak didik. Atau memperlakukan murid-murid seperti anaknya
sendiri.
3)
Menjadi
teladan bagi anak didik.
3.
Faktor anak didik
Belajar dan mengajar adalah sama dengan ibadah shalat,
sehingga shalat tidak sah kecuali dengan menghilangkan hadas dan najis, maka
demikian pula dalam hal mencari ilmu, mula-mula harus menghilangkan sifat-sifat
yang tercela seperti: dengki, takabbur, menipu, angkuh dan sebagainya. Namun
apabila ada pelajar yang budi pekertinya buruk dan hina tetapi memperoleh ilmu
pengetahuan, maka ia hanya memperolehnya pada kulit dan lahirnya saja, bukan
isi dan hakikatnya sehingga tidak bermanfaat bagi dirinya dan lainnya. Jadi
tidak membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ciri-ciri murid menurut Al-Ghazali adalah sebagai
berikut:
a.
Memuliakan guru dan
bersikap rendah hati. Hal ini sejalan dengan pendapat Al-Ghazali yang
menyatakan bahwa menurut ilmu merupakan perjuangan yang berat yang menuntut
kesungguhan tinggi, dan bimbingan dari guru.
b.
Merasa satu bangunan
dengan murid yang lainnya sehingga merupakan satu bangunan dengan murid lainnya
yang saling menyayangi dan menolong serta berkasi sayang.
c.
Menjauhkan diri dari mempelajari
berbagai madzhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran.
d.
Mempelajari tidak hanya
satu jenis ilmu yang bermanfaat saja, melainkan berbagai ilmu dan berupaya
bersungguh-msungguh sehingga mencapai tujuan dari setiap ilmu tersebut.
Ciri-ciri murid
yang demikian nampak juga masih dilihat dari perspektif tasawuf yang
menempatkan murid sebagaiamana murid tasawuf di hadapan gurunya. Ciri-ciri
tersebut untuk masa sekarang tentu masih perlu ditambah dengan ciri-ciri yang
lebih membawa kepada kreativitas dan kegairahan dlam belajar.
4.
Faktor alat pendidikan
a. Materi pendidikan
Kemampuan dasar
membaca, menulis, menghafalkan bagi usia anak-anak memiliki fungsi fundamental
untuk dapat mempelajari berbagai disiplin ilmu pada jenjang pendidikan yang
akan mereka lalui. Demikian itu mengandung beberapa nilai dan manfaat yaitu:
1)
Melatih
daya ingatan dan kekuatan hafalan.
2)
Mempertajam
otak dan mengembangkan akal pikiran.
3)
Menanamkan
rasa cinta kepada Allah, Rasulullah dan pahlawan-pahlawan muslim.
4)
Secara
berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan jiwanya mereka berusaha
mengidentifikasikan nilai-nilai, norma-norma dan ajaran-ajaran yang terkandung
di dalamnya.
b.
Metode
pendidikan
Al-Ghazali menekankan
terhadap pentingnya persiapan bahan pengajaran oleh guru. Beliau juga
menekankan bahwa para guru harus mengamalkan ajaran-ajaran yang diajarkannya.
Poin lain yang berkenaan dengan pentingnya seorang guru agar menarik perhatian
dalam mengembangkan dan mengajarkan pelajaran dengan cara bekerjasama dengan
para siswa yang dengan cara demikian para guru telah memberikan fasilitas dan
kesempatan kepada para siswa untuk memahami bahan pelajaran yang diajarkan.
Al-Ghazali selanjutnya mengingatkan para guru agar menghindari penyajian bahan
pelajaran yang rumit dan sulit terhadap para siswa permulaan, dan meminta para
guru agar memulai peajaran dari yang paling mudah dan sederhana menuju ke mata
pelajaran yang sukar dan kompleks, karena jika mata pelajaran yang kompleks dan
rumit diberikan pada murid permulaan, dapat menyebabkan anak murid mengalami
kesulitan dan hilang pula semangatnya untuk mempelajari mata pelajaran
tersebut. Selain itu Al-Ghazali menekankan agar guru menguasai pengetahuan
secara utuh dan kecakapan, kemampuan dan suka pada anak didiknya serta membuat
perencanaan mengajarnya secara berurutan dan serasi.
Prinsip metodologi pendidikan modern selalu menunjukkan aspek berganda.
Satu aspek menunjukkan proses anak belajar dan aspek lainnya menunjukkan aspek
guru mengajar dan mendidik. Pembahasannya melalui:
1)
Asas-asas
metode belajar, yaitu memusatkan perhatian sepenuhnya, mengetahui tujuan ilmu
pengetahuan yang dipelajari, dan mempelajari ilmu pengetahuan dari yang
sederhana kepada yang kompleks, serta mempelajari ilmu pengetahuan dengan memperhatikan sistematika
pembahasannya
2)
Asas-asas
metode mengajar, yaitu dengan memperhatikan tingkat daya pikir anak,
menerangkan pelajaran dengan cara yang sejelas-jelasnya, mengajarkan ilmu
pengetahuan dari yang konkrit kepada yang abstrak, dan mengajarkan ilmu
pengetahuan dengan cara berangsur-angsur.
3)
Asas-asas
metode mendidik, yaitu dengan memberikan latihan-latihan, memberikan
pengertian-pengertian dan nasihat-nasihat, dan melindungi anak dari pergaulan
yang buruk.
c.
Alat-alat pendidikan
langsung
Alat pendidikan
langsung di sini dapat diartikan sebagai tindakan atau langkah-langkah yang
diambil oleh guru yang ditunjukkan kepada anak didik secara langsung untuk
mencapai kelancaran proses pendidikan dan pengajaran.
1)
Alat
pendidikan preventif
a)
Anjuran
dan Perintah, sebagai pembentuk kesadaran dan pengertian menjalankan kewajiban
sehingga kemudian akan tumbuh rasa senang melakukannya, kemudian dengan
sendirinya anak melakukannya tanpa perintah melainkan dengan penuh kesadaran
dan tanggungjawab.
b)
Larangan,
untuk menghindarkan anak dari suatu perbuatan yang buruk dan dilarang agama.
c)
Disiplin,
yaitu kesediaan untuk mematuhi peraturan yang baik, bukan hanya patuh karena
tekanandari luar melainkan kepatuhan oleh adanya kesadaran tentang nilai dan
pentingnya peraturan itu.
2)
Alat
pendidikan kuratif
a)
Peringatan,
ditujukkan pada anak yang telah melakukan kesalahan.
b)
Teguran
c)
Sindiran
d)
Ganjaran,
sebagai imbalan terhadap prestasi yang dicapainya
Ada tiga
bentuk ganjaran menurut Al-Ghazali, yaitu:
i. Penghormatan (penghargaan), baik berupa
kata-kata ataupun isyarat
ii. Hadiah, yaitu ganjaran berupa pemberian
sesuatu yang bertujuan untuk menggembirakan anak
iii. Pujian dihadapan orang banyak, seperti
dihadapan teman-teman sekelas atupun dihadapan orangtua /wali murid.
e)
Hukuman,
suatu perbuatan di mana seseorang sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa pada
orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki dirinya sendiri dari kelemahan
jasmani dan rohani, sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran.
5. Faktor lingkungan
Lingkungan pendidikan
di sini diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar diri individu yang
memberikan pengaruh terhadap perkembangan dan pendidikannya. Oleh karena
pengeriannya demikian luas, maka pembahasannya dibatasi pada lingkungan
pendidikan yang berwujud manusia dan kesusasteraan.
a.
Lingkungan
yang berwujud manusia
1)
Lingkungan
keluarga
2)
Lingkungan
pergaulan
b.
Lingkungan
yang berwujud kesusastraan
1)
Buku
yang bermanfaat
2)
Buku-buku
yang merugikan dan merusak
D.
Pemikiran Al-Ghazali Tentang Aspek-Aspek Pendidikan
Al-Ghazali mempunyai pemikiran dan pandangan luas mengenai aspek-aspek
pendidikan, dalam arti bukan hanya memperlihatkan aspek akhlak semata-mata
seperti yang dituduhkan oleh sebagian sarjana dan ilmuan tetapi juga
memperhatikan aspek-aspek lain, sepertti aspek keimanan (ketauhidan, keesaan),
akhlak sosial, jasmaniah, dan sebagainya. Jadi, pada hakikatnya usaha
pendidikan di mata Al-Ghazali adalah mementingakan semua hal tersebut dan
mewujudkannya secara utuh dan terpadu karena konsep pendidikan yang dikembangakan
Al-Ghazali (awal dari kandungan ajaran Islam dan tradisi Islam), yang
berprinsip pada pendidikan manusia seutuhnya.
Adapun aspek-aspek pendidikan menurut
Al-Ghazali adalah :
1.
Aspek
pendidikan keimanan
Al-Ghazali mengatakan “iman adalah mengucapkan dengan
lidah, mengakui benarnya dengan hati dan mengamalkan dengan anggota”.
Pengertian iman di sini meliputi tiga aspek:
a.
Ucapan
lidah atau mulut, karena lidah adalah penerjemah dari hati, akan tetapi bayi
yang baru lahir telah mengakui adanya Allah dengan pengakuan jiwa, bukan
pengakuan dengan lidah.
b.
Pembenaran
hati dengan cara i’tiqad dan taqlid bagi orang awam atau manusia pada umumnya,
sedangkan secara kasyaf (membuka hijab hati) bagi orang khawas.
c.
Amal
perbuatan yang dihitung adari sebagian iman, karena ia melengkapi dan
menyempurnakan iman, sehingga bertambah dan berkurangnya iman seseorang adalah
dari amal perbuatan.
Kemudian Al-Ghazali menjelaskan mengenai keimanan
ini secara luas dan mendalam dengan berpangkal dari kalimat syahadat, dengan
mengemukakan dalil-dalil Al-Qur’an, Al-Hadits, dan dalil aqli.
2.
Aspek
pendidikan akhlak
Suatu bidang ilmu pengetahuan yang paling banyak
mendapat perhatian, pengkajian dan penenelitian oleh Al-Ghazali adalah lapangan
ilmu akhlak karena berkaitan dengan prilaku manusia, sehingga hampir setiap
kitab-kitabnya yang meliputi berbagai bidang selalu ada hubungannya dengan
pelajaran akhlak dan pembentukan budi pekerti manusia, terlebih dalam hal
kesopanan dan kesederhanaan.
3.
Aspek
pendidikan akliah
Akal menurut Al-Ghazali adalah “akal adalah
sebagai sumber ilmu pengetahuan tempat terbit dan sendi-sendinya. Ilmu
pengetahuan itu berlaku dari akal, sebagaimana berlakunya buah-buahan dari
pohon, sinar dari matahari dan penglihatan dari mata.”
4.
Aspek pendidikan sosial
Dalam ihya Ulumuddin juz 1, Al-Ghazali mengatakan
:
“akan tetapi, manusia itu dijadikan Allah SWT,
dalam bentuk yang tidak dapat hidup sendiri. Karena tidak dapat mengusahakan
sendiri seluruh keperluan hidupnyabaik untuk memperoleh makanan dengan bertani,
berladang, dan memperoleh roti dan nasi, memperoleh pakaian dan tempat tinggal
serta menyiapkan alat-alat untuk semuanya. Dengan demikian manusia memerlukan
pergaulan dan saling membantu.”
5.
Aspek
pendidikan jasmaniah
Menurut
Al-Ghazali keutamaan-keutamaan jasmaniah terdiri dari-dari empat macam: kesehatajasmani, kekuatan jasmani, keindahan jasmani, dan panjang umur.
DAFTAR
PUSTAKA
Ihsan, Hamdani. dan A fuad Ihsan, Filsafat pendidikan Islam, Bandung, CV.
Pustaka Setia, 2001.