Muhammadiyah dan NU selama ini sering dipersepsi sebagai
dua entitas yang berbeda. Persepsi ini tidak salah, hanya saja kurang lengkap.
Sebab selain perbedaan, Muhammadiyah dan NU juga memiliki beragam persamaan.
Kalau kita hanya sekedar mencari perbedaan, Muhammadiyah dan NU memang berbeda.
Namun yang perlu diingat, bahwa perbedaan itu terletak pada cara pandang dan
kulit luarnya saja.
Dengan kata lain, misalnya dalam hal pengamalan ajaran
Islam, perbedaan Muhammadiyah dan NU hanya sebatas pada masalah khilafiyah yang
bersifat furu’iyah (cabang), tidak pada hal yang bersifat substantif. Hal
demikian lantaran adanya perbedaan sudut pandang dalam menafsirkan ajaran
Islam.
Perbedaan tersebut juga berimplikasi pada sistem
pendidikan yang dibentuk oleh kedua organisasi tersebut. Muhammadiyah terfokus
pada pendirian sekolah-sekolahnya, sedangkan NU terfokus pada pendirian
pesantren-pesantren.
Berikut ini akan dipaparkan sistem pendidikan yang
dibentuk oleh Muhammadiyah dan NU.
CARI MAKALAH LAINNYA
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lahirnya Muhammadiyah dan NU
1. Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di lingkungan tradisi
kraton Yogyakarta pada tanggal 18 november 1912 oleh Ahmad Dahlan (nama aslinya
Muhammad Darwis) yang dilahirkan di yogyakarta pada tahun 1869.
Organisasi Muhammadiyah merupakan gerakan islam yang bertujuan memperteguh keyakinan
beragama dan memperluas serta mempertimbangkan pendidikan agama islam yang
secara modern, sehingga terwujud masyarakat islam yang sesungguhnya diridhoi oleh
Allah SWT.
Muhammadiyah dipengaruhi oleh gerakan
reformasi dan modernisasi, sehingga dipandang sebagai suatu gerakan pembangunan
umat disegala bidang.
Sebagai organisasi dakwah dan pendidikan,
muhammadiyah melakukan usaha-usaha mencapai cita-cita yang telah direncanakan.
Cita-cita yang digagas muhammmadiyah yaitu melahirkan manusia-manusia yang baru
yang mampu tampil sebagai “ulama intelek”, seorang muslim yang memiliki
keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani.
Usaha dan kegiatan muhammadiyah antara lain:
a.
Mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar
diseluruh indonesia, sejak taman kanak-kanak sampai ke perguruan tinggi yang
memberikan pelajaran umum sebagaimana sekolah-sekolah negeri disamping
pelajaran agama islam. Pada zaman penjajahan
muhammadiyah mempelopori mendirikan sekolah-sekolah yang sama dengan yang didirikan oleh belanda
sebagai tandingan.
Bedanya ialah pada sekolah muhammadiyah dimasukkan pelajaran
agama dan sistem penerimaan siswa tidak ada pembatasan bangsawan atau rakyat
jelata. Sedangakan sekolah yang didirikan belanda tidak semua orang dapat memasukinya,
sebab adanya pembatasan-pembatasan.
Sekolah-sekolah yang didirikan muhammadiyah
pada masa itu diantarannya: Bustanul Athfal (Taman Kanak-Kanak), sekolah kelas
dua, HIS, MULO, Sekolah Guru, dan AMS.
Disamping itu didirikan pula sekolah-sekolah
agama seperti Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin (setaraf dengan SLTA),
kulliyatul muballighin (kuliyah mubaligh), Al-jamiyah Al-islamiyah (universitas
muhammadiyah), dan lain-lain.
Sampai sekarang sekolah-sekolah muhammadiyah
berkembang lebih pesat lagi, menunjang usaha pemerintah indonesia dalam bidang
pendidikan dengan mendirikan Madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, diniyah, TK, SD,
SMP, SMA, SPG, SMOA, SK, KP, SKKA, IKIP, Universitas lainnya diseluruh pelosok
indonesia.
b. Mendirikan rumah sakit, poliklinik-poliklinik, tempat-tempat pemeliharaan
yatim piatu, penolong kesengsaraan umum, dan usaha-usaha lain bagi
kesejahteraan umat.
c. Menggiatkan dan memperluas dahwah islam, pengajian-pengajian, mendirikan
masjid-masjid dan mushola, madrasah-madrasah pesantren, menyebarluaskan bacaan
agama serta bimbingan dan penyuluhan dalam pengalaman ajaran agama.
d. Menggiatkan pembinaan dikalangan kaum wanita, remaja, anak-anak, dengan
mengadakan bagian wanita (aisyah), kepemudaan, keputihan, dan kepramukaan.
2. Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama didirikan oleh KH. Hasyim
Asy’ari (1871-1947), seorang ulama besar dari pesantren Tebuireng jombang jawa
timur, pada tanggal 31 januari 1926 M.
Tujuan didirikannya organisasi NU adalah untuk
mempertahankan praktek keagaamaan yang sudah mentradisi dinusantara untuk
mengimbangi gencarnya ekspansi pembaruan islam. Karena itulah, gerakan NU
dikenal memiliki resistensi kuat untuk memeperthankan budaya pesantren.
Pesantren nampaknya merupakan lembaga dakwah NU yang paling
penting, dominan, dan tua sebagai tempat pengkajian islam. Pesantren merupakan
lembaga pendidikan islam khas indonesia.
Basis pesantren umumnya didaerah pedesaan,
sehingga tidak mengherankan jika nilai-nilai tradisi yang dibangunnya sangat
relevan dengan budaya masyarakat islam pedesaan. nilai-nilai tradisi pesantren
inilah yang sebenarnya merupakan salah satu substansi dalam menanaman
nila-nilai keislaman.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang
tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat sekaligus memadukan 3 unsur
pendidikan yang amat penting yaitu: ibadah dalam menanamkan iman, tabligh dalam
penyebaran ilmu dan amal, untuk
menunjukkan kegiatan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Sistem pendidikan yang ada di pesantren sangat
tradisional, sehingga hasyim asy’ari mempunyai inisiatif untuk melakukan uasaha
pembaharuan dan perubahan
lembaga-lembaga tradisional ini yaitu melalui pendayagunaan modal dan
potensi kultural yang dimiliki.
B. Muhammadiyah (sekolah) dan NU (Pesantren)
1. Muhammadiyah (Sekolah)
Sistem pondok pesantren yang dikembangkan umat
islma indonesia telah banyak memberikan sumbangannya bagi nusa dan bangsa dari
sejak sebelum masa penjajahan belanda hingga masa penjajahan belanda. Lewat
lembaga pendidikan ini telah dilahirkan kader-kader umat dan bangsa, dimana
pondok pesantren ini tercatat sebagai lembaga yang mempelopori menanamkan
semangat nasionalisme dan patriot bangsa kepada para santrinya. Namun dalam
menghadapi tantangan kemajuan zaman yang tidak pernah mengenal berhenti, maka
akan terasa bahwa muatan isi yang ada dalam sitem pondok saat ini terasa kurang
memadai dalam rangka mengantisipasi perkembangan zaman.
Dalam sistem pondok saat itu hanya mengajarkan
mata pelajaran agama dalam arti sempit, yaitu terbatas pada bidang fiqih agama.
Sedangkan mata pelajaran yang bersangkutan dengan urusan keduniaan sama sekali
belum diperkenalkan. Padahal justru hanya lewat ilmu-ilmu pengetahuan ini
seorang akan mampu melaksanakan tugas-tugas keduniaan.
Sesungguhnya, bahwa lembaga pendidikan islam sudah
seharusnya menyiapkan diri menjadi lembaga pembibitan kader-kader penerus
cita-cita islam dan siap mengemban amanat Allah. Mengingat fungsi pendidikan
islam seperti ini maka apa yang ada dalam lembaga-lembaga pondok pesantren pada
saat itu dirasakan oleh KH. A dahlan masih ada satu kekurangan yang mendasar
yang harus segera disempurnakan. Jikalau pada awalnya sistem pondok pesantren
hanya membekali ilmu-ilmu pengetahuan agama semata, maka untuk penyempurnaannya
mereka harus diberikan juga ilmu-ilmu pengetahuan umum sehingga dengan demikian
akan lahirlah dari lembaga pendidikan ini manusia yang ulul albab.
Dengan alasan tersebutlah maka didirikan
sekolah yang tidak lagi memisah-misahkan antara pelajaran yang dianggap agama
dan pelajaran yang digolongkan ilmuumum, pada hakikatnya merupakan usaha yang
sangat penting dan besar. Karena dengan sitem tersebut bangsa indonesia dididik
menjadi bangsa yang utuh kepribadiannya, tidak terbelah menjadi pribadi yang
berilmu umum atau berilmu agama saja.
Istilah pesantren sebetulnya telah lama
dikenal oleh masyarakat Indonesia. Istilah pesantren berasal dari kata
“per-santri-en” yang artinya adalah “tempat di mana orang-orang bijak berada”.
Kata santri berasal dari kata “shahstri” dari bahasa Sanskerta yang artinya
yaitu seseorang yang cendekia (alim) dalam hal sastra-sastra (shastras) Hindu,
yaitu kitab suci agama Hindu.
Di masa kini, pesantren dipandang sebagai
sebuah institusi yang fungsi utamanya adalah pendidikan, terutama terletak di
daerah pedesaan, pesantren-pesantren menyediakan sebuah tempat untuk belajar di
mana murid-murid dapat menerima pelajaran agama dari seorang kyai.
Pesantren merupakan bagian dari infrastuktur
agama yang salah satu manifestasinya adalah adanya hubungan yang baik antara
para pimpinan-pimpinan pesantren dan NU serta pemerintah. NU bekerjasama dengan
pemerintah untuk mengembangkan prospek-prospek kerja bagi para lulusan
pesantren. Sejak akhir tahun 1950-an, NU telah menerima sistem sekuler
pemerintahan pusat, ideologi negara
Pancasila, sebagai timbal balik untuk mendukung program-program
pendidikan dan sosial NU.
Berdirinya NU tak bisa dilepaskan dengan upaya
mempertahankan ajaran aswaja. Dimana ajaran ini bersumber dari al-Qur’an,
sunnah, qiyas, dan ijma’ serta qiyas. Secara rinci ajaran itu ada tiga
substansi, yaitu: dalam bidang hukum-hukum islam, menganut salah satu ajaran
dari empat madzab, dalam soal tauhid, menganut ajaran imam abu hasan al-asy’ari
dan imam abu mansur al-maturidi, dan dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar
ajaran imam abu qasim al-junaidi. Dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan
ajaran-ajaran itu, maka pesantrenlah yang merupakan wadah atau sarana utamanya.
Pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan yang dikelola untuk mengembangkan dan
mewariskan ajaran ahlussunnah waljamaah (aswaja).
Melalui pesantren para kyai melakukan
pendogmaan tafsir yang terdapat dalam kitab kuning, dan terus menerus dianggap
sebagai suatu kebenaran. Di lembaga itu pula diaplikasikan dan direplikasikan
metode-metode pendidikan yang berwatak tradisional bahkan informal, dimana
secara terus menerus mempertahankan kitab kuning sebagai referensi utamanya,
cara-cara belajarnya yang secara relatif tidak berkembang atau tidak
mengakomodasi metode pendidikan modern, serta alumninya pun tidak memperoleh
ijazah formal dari pemerintah sehingga secara resmi tidak memperoleh pengakuan
pemerintah sebagaimana umumnya lembaga pendidikan formal dengan kualifikasi
sesuai jenjangnya masing-masing.
Demikian juga dengan isi kitab kuning yang
menjadi pegangan utama, mengajarkan berbagai peristiwa masa lalu yang
seringkali tak mengaitkannya dengan konteks perkembangan masa kini, sehingga
oleh sebagian orang terkadang dianggap sudah ketinggalan atau tidak sesuai
dengan kondisi zaman sekarang.
Pesantren sebagai basis sosial dan budaya NU
pernah dianggap sebagai sub-komunitas yang paling prestigius dalam masyarakat
bangsa ini. Ketika era penjajahan, dunia perpolitikan di nusantara tidak
memberi ruang untuk berperannya tokoh-tokoh islam. Para ulama berupaya menekuni
bidang pengembangan pendidikan islam yang berbasis pedesaan, dan di desalah
awal mula berdiri dan berkembangnya pesantren-pesantren. Tempat tinggal seorang
warga yang dikenal memiliki kelebihan dalam pengajaran agama islam (yang
selanjutnya dikenal sebagai ulama) dijadikan sebagai pusat pendidikan agama
islam, baik oleh masyarakaat sekitar maupun mereka yang datang dari daerah jauh
yang secara khusus masuk islam untuk belajar agamanya.
Pola kepemimpinan kyai dalam hubungannya dengan
santri mengikuti pola kepatuhan, dimana santri menjadi amat patuh pada kyai
atau gurunya. Secara lebih khusus, keberadaan kyai di tengah para santri dan
masyarakat sekitarnya memiliki kesamaan dengan posisi para raja di jawa, dimana
raja benar-benar memiliki memiliki peran penting dalam rangka mengarahkan
masyarakatnya. Hanya saja yang berbeda adalah: pertama, keberadaan raja lebih
sebagai pemimpin suatu komunitas plural dengan sumber legitimasi sosial yang
asribed. Sedangkan kyai merupakan pemimpin komunitas yang homogen religius yang
legitimasinya bersifat socially achieved, dan kedua, titah raja berdasarkan
aturan kerajaan yang bersifat sekuler, sedangkan titah kyai selalu
diatasnamakan dan dibawah panduan legitimasi hukum-hukum Tuhan dan sunnah Nabi
serta kesepakatan-kesepakatan ulama sebelumnya yang mendukung titah itu.
Ada tiga pilar utama dalam menganalisis
kekuatan NU, yaitu basis massa (struktur sosial), basis ulama-politisi
(struktur kepemimpinan), dan tradisi nasab (hubungan kekerabatan dan kekeluargaan).
Sampai saat ini ketiga pilat tersebut tidak banyak berubah, kecuali pilar kedua
yang mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan politik.
Pondok pesantren dan masyarakat islam pedesaan
menjadi pilar yang tetap kokoh sehingga tidaklah salah kalau ada yang
mengatakan nu merupakan organisasi pesantren dan masyarakat islaam pedesaan.
Bahkan sering diidentikkan antara nu dengan pesantren, artinya
pesantren-pesantren tradisional yang tersebar di pulau jawa dimiliki oleh
kyai-kyai yang berpaham keagamaan tradisional, yang kemudian menjadi pendukung
NU. Selain itu, keterkaitan NU dengan pondok pesantren dibuktikan dalam
lembaran sejarah peradaban islam di indonesia, terutama keberadaan pondok
pesantren tebuireng misalnya, yang didirikan oleh hasyim asy’ari, pendiri dan
pemimpin tertinggi NU merupakan pondok pesantren tertua yang menjadi pemasok
sumber daya manusia yang paling penting untuk kepemimpinan pesantren di seluruh
jawa dan madura sejak tahun 1910an.
Tercatat lebih dari 500 buah madrasah dengan
jumlah murid lebih dari 200.000 orang berafiliasi kepada pesantren tebuireng.
Disebutkan bahwa pesantren tebuireng merupakan kiblat pesantren, yang berarti
langkah-langkah kebijaksanaan maupun sistem yang dijalankan oleh tebuireng
diterima sebagai model oleh pesantren lain. Hal ini menandakan adanya kaitan
geneologis antarpesantren tradisional di indonesia, lebih-lebih tiap pesantren
itu memiliki ciri-ciri umum sebagai elemen dasar sebuah pondok pesantren,
yaitu:
a.
Pondok, adalah asrama untuk tempat tinggal
santri baik laki-laki maupun perempuan.
b.
Masjid, adalah bangunan yang dipakai untuk
mendidik santri terutama dalam praktek ibadah lima waktu, khutbah, shalat
jum’ah, dan pengajaran kitab-kitab klasik
c.
Santri, adalah orang yang belajar di pondok
pesantren, terdiri dari santri mukmin dan santri kalong.
d.
Kyai, selain pengajar kitab-kitab klasik,
biasanya juga sebagai pemilik pondok pesantren.
e.
Pengajaran kitab-kitab islam klasik,
dikelompokkan dalam delapan macam, yaitu nahwu dan sharaf, fiqih, ushul fiqih, hadits,
tafsir, tauhid, tasawuf, dan etika dan yang terakhir ilmu-ilmu lain seperti
tarikh dan balaghah.
C. Muhammadiyah versus NU
Muhammadiyah yang pada awal-awal
pertumbuhannya berbasis masyarakat perkotaan (urban society), mempunyai
peluang dalam memodernisasi institusi sosial umat Islam seperti pendidikan dan
pelayanan sosial. Karena perannya itu, kelak Muhammadiyah oleh beberapa
Islamisis dikonstruksikan sebagai gerakan modernis (reformis), di samping
sebagai gerakan puritan. Sementara itu, NU juga telah memberikan sumbangan yang
besar bagi proses institusionalisasi tradisi intelektualisme Islam terutama
yang berbasis epistemologi “Islam tradisional”.
Sebagai organisasi keagamaan yang bertolak
dari perbedaan dalam mengkonstruksi suatu ajaran, serta perbedaan pula pada
basis material dan kultural terutama pada awal-awal pertumbuhannya,
Muhammadiyah dan NU berpotensi terlibat konflik.
Tak dapat dipungkiri, hubungan Muhammadiyah
dan NU pernah diwarnai dengan konflik yang dipicu oleh perbedaan cara pandang
keagamaan, meskipun sebenarnya tidak begitu prinsipil dan berada pada wilayah
yang mudah diperdebatkan (khilafiyah) seperti penggunaan qunut dalam sholat
subuh, jumlah rakaat sholat tarawih, ritus yang berkaitan dengan kematian, dan
penentuan idul fitri. Karena tidak begitu prinsipil, seharusnya konflik bisa
dinetralisir. Tapi yang terjadi malah konflik berkembang dalam radius yang luas
dan melibatkan banyak segmen masyarakat.
Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan setting historis-sosiologis lahirnya
kedua organisasi itu pada dekade-dekade awal abad ke-20. Muhammadiyah lahir
dalam lingkungan sosial yang boleh dibilang masyarakat perkotaan (urban
society). Sedangkan NU lahir dalam lingkungan sosial masyarakat pedesaan (rural
society) yang memegang teguh warisan tradisi. Perbedaan basis material itu
rupanya memberi pengaruh signifikan terhadap artikulasi-artikulasi simboliknya.
Muhammadiyah cenderung pada artikulasi-artikulasi yang bercorak purifikatif.
Sedangkan NU, memiliki kekayaan tradisi kultural yang akrab dengan kalangan
masyarakat agama akar rumput.
Dalam perkembangan selanjutnya, karena kedua
artikulasi itu memiliki keuntungan dan resiko berlainan. Pada Muhammadiyah,
karena kurang terbebani warisan tradisi lokal, terasa memiliki kelonggaran
dalam merintis langkah pembaharuan (tajdid). Namun begitu, Muhammadiyah
dinilai beberapa kalangan mengalami kemiskinan budaya.
Hal sebaliknya, terjadi pada NU. Dengan sikap
akomodatifnya terhadap tradisi, NU memiliki akar historis dengan kalangan
masyarakat agama di bawah. Dibanding Muhammadiyah dan organisasi keaagamaan
lain, NU boleh dikatakan merupakan satu-satunya organisasi keagamaan yang
memperoleh dukungan massa yang betul-betul melimpah dan sangat solid. Namun
begitu, NU setidaknya pada perkembangan yang masih awal, menghadapi kendala
kultural dalam merespon perkembangan zaman. Tentu saja, penilaian semacam itu,
tidak lagi relevan dalam konteks perkembangan NU belakangan karena banyak
generasi NU yang telah memiliki mobilisasi demkian cepatnya.
Sejatinya, perbedaan antara Muhammadiyah dan
NU, baik yang terjadi pada aras paham keagamaan maupun aras kultural, dapat
memberi penguatan bagi proses kemajemukan Islam di tanah air. Kekuatan Islam
bukan hanya terletak pada adanya kesatuan (unity) , tetapi juga pada wilayah
fundamental keagamaan, tetapi juga, pada keragaman (diversity) kultural dalam
wilayah historis dan sosiologis keagamaan umat Islam. Hal itu menjadi indikasi
penting, Islam merupakan agama yang dapat berkembang pada semua kawasan yang
punya keanekaragaman kultural. Dalam konteks sejarah Islam di Indonesia, kita
tidak bisa membayangkan, kalau saja Muhammadiyah dan NU tidak muncul di Bumi
Nusantara tercinta ini.
BAB III
PENUTUP
Organisasi Muhammadiyah merupakan gerakan Islam yang
bertujuan memperteguh kenyakinan beragama dan memperluas serta mempertimbangkan
pendidikan agama islam yang secara modern, sehingga terwujud masyarakat islam
yang sesungguhnya diridhoi allah SWT.
Sedangkan organisasi NU bertujuan untuk mempertahankan
praktek keagaamaan yang sudah mentradisi dinusantara untuk mengimbangi
gencarnya ekspansi pembaruan Islam. Karena itulah, gerakan NU dikenal memiliki
resistensi kuat untuk mempertahankan budaya pesantren.
Meskipun memiliki tujuan yang berbeda, namun Muhammadiyah
dan NU memiliki kontribusi yang besar bagi pendidikan di Indonesia, terutama
dalam memberikan corak pendidikan Islam.
BACA JUGA
MASAIL FIQIH-
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Syamsul. 2004. Muhammadiyah-NU,
Mendayung Ukhuwah di Tengah Perbedaan. Malang : UMM Press.
Aripudin,Acep danMudlofir Abdullah. 2014. Perbandingan
Dakwah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Asrahah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan
Islam. Jakarta: PT.LOGOS.
Ida,Laode. 2004.NU muda: Kaum Progresif dan
Sekularisme Baru. Jakarta: Erlangga.
Pasha, Musthafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban.
2003. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam (Dalam Perspektif Historis dan
Ideologis). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shobron,Sudarno. 2003.Muhammadiyah dan NU
dalam Pentas Perpolitikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Wahab, Rochidin. 2004. Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia. Bandung: Alfabeta.